Selama perjalanan untuk menyusulku Juni hampir pingsan beberapa kali. Ia berusaha keras berjalan dengan mata yang kadang-kadang mengabur. Juni berhenti sejenak jika keadaan matanya semakin buruk. Beberapa angkot berteriak menawari tumpangan. Juni berkali-kali melambaikan tangannya untuk menolak.
Setiap satu kilo, Juni berhenti untuk beristirahat. Ia berusaha mencari halte yang paling nyaman. Juni memilih duduk di sebuah halte karena merasa aman. Tapi kemudian, ia malah menipu beberapa bus yang mencari penumpang. Sudah berulang kali juga, Juni melambaikan tangan kepada bus-bus yang menawarinya bantuan tumpangan.
Satu kilo sebelum sampai di rumahku Juni terduduk lemas di depan para pria yang sedang mengobrol. Ia pun mendapat bantuan tumpangan setelah seorang bapak berulang kali menawarinya tumpangan. Juni menuruti dan bersedia diantar bapak itu karena satu jalur dengan tujuan Juni. Juni diantar sampai di depan rumahku. Ia mengira aku sudah kembali ke rumah. Rumahku kosong menyisakan beberrapa makanan yang belum termakan.
Ketenangan Juni segera musnah ketika mendapati aku belum berada di rumah. Saat itu kaki juni tiba-tiba terasa perih. Juni menginjak potongan pot kaca yang tidak sengaja aku tendang saat keluar rumah membanting pintu. Ia tidak menyadari darah mulai mengalir di mata kakinya yang terluka. Tanpa melihat ke kakinya yang mulai berdarah dan tanpa memikirkan apa-apa lagi juni kembali pergi. Melanjutkan perjalanannya untuk mencariku.
Perih di kakinya bertambah parah kala Juni melewati perempatan jalan. Kaki Juni menjadi sulit untuk digerakkan. Ketika ditekuk rasa penih itu semakin menyayat. Juni menutup mata untuk menahan rasa perih itu. Menahan rasa perihnya di dalam dada. Namun, saat membuka matanya kembali, ia justru tidak bisa melihat apa-apa lagi. Pandangannya semakin menggelap. Juni memutuskan duduk sebentar. Bersandar di sebuah tiang lampu jalanan. Beruntung beberapa saat kemudian, aku menemukannya.
Bodohnya aku. Aku tidak melihat darah mengucur di kaki Juni sampai akhirnya ia tidak sanggup lagi berjalan. Sesampainya di pantai, sebelum menginjak garis pembatas antara jalan setapak dengan pasir pantai, Juni akhirnya tumbang. Ia terduduk cukup keras di pasir pantai. Wajahnya segera terlihat seperti orang bingung. Dengan tangan kanan memegang kedua lenganku, ia menatap tanah dengan mata lingkung.
“Kamu tidak apa-apa, Jun?” tanyaku semakin mengeratkan pegangannya mengunakan kedua tanganku. Juni mengangguk. Juni masih sadar dan terlihat berusaha kesusahan memperjelas penglihatannya yang masih berbayang. Juni seperti banyak melihat banyak kunang-kunang.
“Tadi aku duduk di kursi bunuh diri lho, Jun. Tempatnya cocok untuk melihat sunset, aku yakin kamu menyukainya. Kamu harus mencoba duduk di sana. Ayo, kita ke sana.”
“Berarti aku hampir kehilangan dirimu ya, Yun. Maaf, aku tidak segera menyusulmu” lemah Juni.
“Tidak apa-apa. Untung saja, ada dua orang penjaga pantai menolongku. Sekarang aku sudah sadar, Jun. Tadi aku hampir melakukan hal yang bodoh. Aku tidak akan melakukannya lagi”
"Janji ya, Jun. Tolong jangan pernah berpikir untuk melakukan hal itu lagi"
"Iya Juni. Aku berjanji"
“Maafkan aku, Yun”