SUNSET

Murti Wijayanti
Chapter #20

20. Sebuah Kesepakatan

Juni demam tinggi. Bibi memberiku perintah beberapa kali untuk mengambil air kompresan di dapur. Pertama-tama karena masih panik mendapati Juni tidak sadarkan diri, aku mengambil air es langsung dari kulkas. Bibi berkata keras dengan intonasi khawatir jika air dingin bukan air dari kulkas. Bibi menyuruhku mengambil air hangat baru. Akhirnya, air di dalam termoslah yang aku pakai.

Karena kehabisan ide untuk menerangkan, Bibi pada akhirnya bertindak sendirian. Aku diminta Bibi duduk di samping Juni karena ia mulai mengigau. Bibi kembali dengan termos keci dan panci berukuran sedang yang sudah terisi air sesuai harapannya sendiri. Dengan telaten Bibi mencelupkan sebuah handuk putih kecil lalu, memeraskan sebanyak tiga kali. Kamar bibi yang sepi membuat suara perasan air terdengar keras sekali.

“Orlin sedang pergi kemana, Bi?” tanyaku memecah kesunyian.

“Nona Orlin pergi les” jawab Bibi sambil menempelkan handuk hasil perasannya di kening Juni. Juni memberontak sebentar lalu kembali tenang karena Bibi mengelus-elus kepalanya. Juni masih mengigau. Memanggil-manggil lirih ibunya.

“Dia merindukan ibunya mungkin”

“Ibu Juni sudah meninggal”

“Bibi sudah tahu”

“Dari mana Bibi tahu?”

“Nona Orlin bilang kepada bibi. Dia juga banyak bercerita tentang kamu” Aku diam. Memilih memainkan kesepuluh jari di tanganku. Namun, aku tidak sabar menyambut kalimat bibi selanjutnya.

“Jangan bilang siapa-siapa, ya. Nona Orlin jatuh cinta sama Juni” ungkap Bibi mulai menampakkan senyumnya.

“Aku sudah tahu”

“Tapi, sepertinya dia sadar hati Juni sudah dimiliki oleh gadis lain” Bibi mengambil handuk dari kening Juni lalu menceburkannya kembali ke dalam panci. Sambil memeras handuk yang akan tetap basah semalaman itu, mata Bibi melirik usil kepadaku.

“Sekarang bibi bertemu dengan gadis yang diklaim Nona Orlin sebagai pemilik hati Juni” Bibi menyipratkan air sedikit ke wajahku. Aku tersenyum tipis, menampakkan wajah malu-malu. Orlin sudah menceritakan semuanya kepada Bibi cukup jauh. Mungkin ia juga menceritakan perubahan sikap jahatku selama di sekolah beberapa minggu.

“Gadis yang tidak bisa mengambil air kompresan. Kenapa Juni bisa tertarik kepada gadis seperti itu, ya?”

“Itu karena kami sudah bersahabat sejak kecil” sahutku datar. “Juni menyayangiku karena kami teman sejak kecil. Rasa sayangnya kepadaku adalah rasa sayang sesama sahabat, tidak lebih. Aku sendirilah yang terlalu menyayanginya. Tapi, sekarang aku berhasil merubah perasaan itu menjadi cinta. ”

“Kenapa kamu berkata dengan wajah sedih seperti itu, Nak? Kalian sedang ada masalah?” Bibi menghentikan tangannya yang hampir menaruh handuk itu kembali ke kening Juni. Aku berhenti memainkan jariku. Suasana sepi memancingku untuk menceritakan semuanya.

Bibi seperti menjadi sosok Fira kedua yang aku temui. Ia menunjukkan beberapa ekspresi. Bibi terlihat antusias mendengarkan cerita yang terucap dari mulut bergetarku. Ia menghentikan sesaat pembicaraan, karena memberiku nasihat di sela-sela aku berhenti bercerita. Padahal bukan nasihat yang aku harapkan dari Bibi. Yang aku butuhkan sekarang adalah solusi, dukungan dan tentu saja doa. Bibi bilang aku sudah cukup dewasa. Setelah ceritaku selesai, bibi melanjutkan nasihat-nasihat yang tiba-tiba muncul dalam benaknya. Aku mendengarkan nasihat-nasihat itu tanpa menatap mata Bibi.

Lihat selengkapnya