Semuanya terjadi begitu cepat. Pagi-pagi sekali aku dibangunkan dan dijemput Kak Raka di rumah Orlin. Kakak memakai pakaian berbeda. Wajahnya seperti orang baru bangun tidur. Ketika memanggil namaku berulang kali napasnya terengah-engah. Terdengar seperti kesulitan mengatur pernapasan. Juni berdiri di belakang Kak Raka. Tertunduk dengan muka sayu dan mata yang tidak berkedip sama sekali. Orlin dan Bibi berada di luar kamar membicarakan sesuatu. Beberapa kali Orlin melihat keadaanku di dalam kamar. Namun, yang benar-benar ia perhatikan adalah Juni.
“Ibu sakit dan sekarang ada di rumah sakit. Kamu harus ke sana sekarang” ujar Kak Raka. Jam tiga pagi kakak mendapat panggilan dari Paman di rumah sakit. Keadaan Ibu tiba-tiba memburuk. Kak Raka semakin kebingungan karena belum berhasil menemukanku dan Juni. Paman memberikan semua tempat yang mungkin aku dan Juni datangi.
Kak Raka memakan waktu tiga jam untuk menemukanku. Dengan putus asa kakak memacu mobilnya sangat kencang. Tidak sengaja hampir menabrak Bibi dalam perjalanan pulang dari pasar. Kak Raka menolong Bibi sekaligus mendapatkan petunjuk keberadaanku dan Juni. Juni tetap bungkam dengan keringat yang mulai mengalir di samping di pipinya. Orlin memilih berdiri di samping Juni daripada menghiburku. Demam Juni belum sepenuhnya menghilang. Aku menitipkan Juni pada Orlin dan Bibi.
Selama perjalanan menuju rumah sakit Kak Raka menceritakan semuanya. Tentang Ibu yang tiba-tiba pingsan setelah aku pergi, kesulitan bernafas, lalu hasil pemeriksaan laboratorium. Semalam pukul sembilan malam, Paman yang pertama kali mengetahui hasil pemeriksaan lab. Paman kebingungan menerima selembar kertas putih yang dipenuhi oleh berbagai macam kata asing dan angka. Dengan sabar dokter mulai menjelaskan.
Ibu postitif menderita kanker perut. Paman sama sekali tidak terkejut. Ia sudah tahu lebih dulu tentang penyakit Ibu daripada dokter itu. Bahkan Paman sudah mengetahuinya sejak lama. Sudah dua tahun Ibu menderita kanker perut. Ia hanya membagi kesedihannya kepada Paman. Mendengar cerita Kak Raka, aku kembali menjatuhkan air mataku. Aku menangis histeris di dalam mobil. Setiap berhenti di lampu merah, kakak mencoba menghiburku dengan menaruh kepalaku di lengannya. Kak Raka juga menangis. Namun, kakak lebih suka menangis di dalam hati.
Kak Raka menuntunku dengan sangat baik menuju ruangan ICU Ibu. Setelah sampai di depan pintu ICU kamar Ibu menginap, kakak melepaskan tangannya. Kak Raka ulai menggunakan telapak tangannya untuk menutupi kedua mata. Kakak menyuruhku berganti pakaian khusus ruang ICU untuk masuk terlebih dahulu. Paman menyambutku dari dalam ruangan. Ia baru saja selesai mengipasi Ibu , lalu keluar ruangan sambil tetap memegang kipas kecil.
“Ibu!” teriakku terduduk di bawah tempat tidur Ibu. Ibu kini membutuhkan selang untuk bernafas. Aku tidak pernah membayangkan Ibu akan kesulitan bernapas. Alat-alat yang menempel di tubuh Ibu sama dengan alat-alat yang dipakai Ayah dulu sebelum meninggal. Ibu menderita kanker perut, aku tidak mempercayainya sampai Ibu perlahan-lahan membuka matanya.
“Yuni … kamu sudah di sini” Ibu membuka matanya dengan sangat lemah. Aku ragu Ibu bisa melihatku dengan jelas. Pelan-pelan juga Ibu menaruh tangannya di atas kepalaku. Turun sedikit hingga menyentuh pipiku. Kemudian Ibu membelainya.
“Maafkan aku Ibu … ”