SUNSET

Murti Wijayanti
Chapter #22

22. Janji untuk Menikah

Seekor burung hinggap di pohon kelengkengku. Burung itu berkicau lalu terlihat kebingungan mencari sesuatu. Begitu aku membuka jendela kamarku, burung itu gelagapan mengepakkan sayapnya. Ia memutuskan untuk terjun dari atas pohon. Burung itu meluncur dan jatuh tepat di sebuah semak-semak. Entah apa yang terjadi aku tidak tahu. Sepertinya burung itu terluka. Aku mengamatinya begitu lama. Karena penasaran, aku memutuskan untuk ikut meluncur dari atas jendela.

Aku meluncur dari atas jendela lantai dua. Semenjak Ibu meninggal aku kerap melakukannya. Aku sering menggunakan jendela sebagai pintu dan pintu sebagai jendela. Akalku kehilangan kemampuan untuk mengenali fungsi semua benda. Sejak Ibu tidak ada di rumah, aku merasa aneh dan tidak tahu harus berbuat apa. Pintu tidak pernah aku kunci. Jendela aku biarkan terbuka di malam hari. Dapur dan ruang tamu menjadi ruangan yang aku takuti.

Dapur adalah ruangan yang selalu aku hindari. Karena di ruangan itu selalu muncul bayangan Ibu memasak telur goreng gosong untukku. Menyuruhku makan sambil tersenyum. Mendarat dengan pantat yang sempat tergores dinding, buru-buru aku mencari burung itu. Aku menemukannya tersangkut sebuah plastik berwarna hitam. Beruntung, plastik itu hanya menjerat sebelah kakinya. Mata burung itu berair. Sarang di pohon kelengkeng yang sudah ia bangun untuk anak-anaknya dirusak oleh seseorang.

Burung itu dan aku sama-sama kehilangan sesuatu. Dia kehilangan anak-anaknya, aku kehilangan Ibuku. Aku ingin memiliki sayap seperti burung itu. Aku ingin menggunakannya untuk terbang tinggi, melepas semua kesedihanku. Ketika kakiku kembali menginjak tanah, hembusan angin menabrak tubuhku. Membuat mataku sedikit kelilipan. Selama menutup mata, samar-samar hidungku mencium bau wangi yang tidak asing bagiku. Aku sangat mengenali bau itu. Bau parfum yang selalu aku nanti-nantikan kehadirannya.

Sudah bertahun-tahun wangi itu ada bersamaku. Dan akan terus bersamaku jika Orlin tidak muncul menjadi penganggu. Niat untuk memberi bunga mawar kepada Juni setiap hari sudah terpatri di dalam hatiku. Seperti sebuah janji yang akan berakhir ketika selamanya sudah datang. Aku mencium bau bunga mawar. Hidungku mulai kembang kempis. Sesuatu menyentuh hidungku dan tanpa pikir panjang aku membuka mataku.

Juni berdiri di depanku. Posisinya kelihatan begitu kaku. Seperti sebatang kayu. Aku hampir tertawa melihat ekspresi wajahnya. Ekspresinya seperti orang gugup, malu, dicampur takut. Getaran-getaran liar terpancar dari sekujur tubuhnya. Tangan kirinya tegak lurus dengan tubuh Juni. Menambah kesan kaku di tubuhnya. Tangan kanan Juni memegang satu bunga mawar yang sudah menempel di hidungku. Adegan ini sama persis di dalam film drama komedi cinta jaman ayah dan ibu. Astaga, Juni sama sekali tidak kelihatan romantis.

Aku pura-pura bersin untuk mengurangi sedikit keanehan yang tiba-tiba mengepung kami. Sejak Ibu tidak ada, aku merasa ada sesuatu yang menghalangi antara aku dan Juni. Mungkin dalam drama percintaan hal tersebut sering disebut jarak. Namun, aku dan Juni tidak pernah terpisah jauh. Jadi inikah jarak tidak berwujud yang selalu diributkan di dalam drama-drama itu? Sesuatu itu aku gambarkan seperti tembok tidak berwujud. Aku yakin Juni juga merasakan kehadiran tembok itu. Tembok tidak terlihat itu menciptakan aura aneh yang membuat kami menjadi canggung.

“Aku mencarimu kemana-mana, ternyata kamu ada di sini” Juni berkata sambil menurunkan tangan kanannya dengan kaku. Kelopak bunga mawar itu pelan-pelan meninggalkan permukaan hidungku. Muncul perasaan aku tidak menyukainya. Bukan tidak suka dengan bunga itu, tapi aku takut jika ternyata bunga itu bukan untukku. Wajah Orlin lagi-lagi muncul di pikiranku. Karena itu, sebelum bunga itu menghadap ke tanah, aku langsung merebutnya dari tangan Juni. Aku merebutnya dengan kencang, tubuh Juni seperti ikut tertarik.

“Bunganya wangi sekali. Beli di mana?”

“Bunga itu untukmu. Aku membelinya di toko bunga yang pernah kita datangi. Kalau kamu mau membeli bunga untuk ayahmu lagi, sekarang sedang ada diskon, lho.”

“Tega.” Juni tercengang mendengar jawaban satu kataku. Tidak biasa aku menjawab hanya dengan satu kata, kecuali hatiku sedang diselimuti rasa sebal. Juni menaikkan alis bulan sabitnya. Bibir dan matanya ikut naik juga.

“Tega kenapa?”

“Bunga yang kamu belikan untukku ini bunga diskonankan? Kamu membelikan aku bunga murah, padahal aku mati-matian kerja part time demi membelikanmu bunga setiap minggu.”

Ah, soal itu maaf. Aku tidak punya cukup uang. Kalau aku kerja pun, aku tidak akan kuat. Bunga itu aku sengaja pilihkan yang paling besar untukmu. Aku harap kamu menyukainya dan aku mohon terimalah”

Lihat selengkapnya