Setiap pagi menjelang siang, Juni selalu datang ke rumahku. Setelah bangun tidur dan merapikan tempat tidur, ia melakukan hal-hal baik lebih lebih dulu. Bersih-bersih rumah dan memasak. Tidak lupa, Juni juga membersihkan halaman rumah. Ia sangat terampil mengerjakan semua pekerjaan rumah. Mungkin karena Tante meninggal sejak Juni masih anak-anak. Ia menjadi sosok sangat mandiri seperti sekarang. Aku rasa jika Ibu Juni masih hidup, ia akan sangat bangga mempunyai anak laki-laki super rajin seperti Juni. Zaman sekarang anak laki-laki seperti itu hampir langka.
Juni mengeluarkan sepedanya. Memacunya santai menuju rumahku. Saat Juni sampai di rumahku, aku tidak pernah sudah bangun. Tubuhku tergulung di dalam selimut tebal dan selimut itu harus ditarik Juni dengan teriakan keras untuk membangunkanku. Adegan selanjutnya, aku akan duduk manis di pinggir tempat tidur. Dengan wajah mengantuk mendengar Juni mengomel seperti ibu-ibu. Ketika mengomel, Juni lebih cerewet daripada ibuku.
Satu bulan kepergian ibu, kami resmi masuk liburan sekolah. Hari ini adalah hari pertama musim liburan sekolah. Aku ingin melakukan banyak hal yang menyenangkan bersama Juni. Aku ingin melihat matahari terbenam setiap hari bersama Juni. Akhir-akhir ini, aku bahkan berpikir ingin tinggal dan menginap di rumah Juni. Tapi, aku masih mempunyai rasa sopan santun dan tidak berani meminta izin kepada Kak Raka. Kakak menjadi sosok sangat tegas semenjak Ibu meninggal.
Tangan Juni selalu membawa makanan. Tidak jarang ia lupa membawanya juga. Setiap kali Juni datang ke rumah dengan tangan kosong, ia akan menuju kulkas, Mengeluarkan beberapa sayur atau daging. Juni bisa memasak apapun yang ia temukan di dalam kulkas. Ia pernah membangunkanku menggunakan bawang putih goreng satu-satunya dari kulkas. Setelah puas melihatku memakan satu suapan makanan pagi ini, Juni kelabakan mencari sesuatu di gudang. Terdengar suara sedikit gaduh dari pintu sebelah kananku.
Juni menampakkan dirinya lagi membawa sapu lidi dan sekop, juga keranjang sampah mini berwarna kuning. Semua senjata rumah tangga yang tidak pernah aku sentuh itu ia letakkan di samping kursi dudukku. Kedua alis mataku naik tiga sentimeter ke atas dahi. Kupercepat gerakanku menguyah untuk segera bertanya tentang semua senjata rumah tangga itu kepada Juni.
“Habiskan dulu sarapanmu, setelah itu aku akan mengajarimu membersihkan rumah”
“Kamu pikir aku tidak bisa membersihkan rumah?”
“Kamu bisa membersihkan rumah, tapi tidak bisa membersihkannya setiap hari” Juni mengomel lagi. Aku meringis lucu seperti anak kecil yang sedang dimarahi sang ibu. Juni ikut meringis juga lalu duduk di depanku. Kedua tangan Juni mengatup kedua pipinya sendiri. Ia melihatku makan dengan mata sayu yang terlihat mengantuk. Awalnya aku merasa biasa saja, namun setelah mata kami bertemu cukup lama, dadaku bergejolak memberi sebuah tanda. Juni melakukan hal yang sama.
Aku menjatuhkan bola mataku ke dalam sarapan pagiku lagi. Juni melakukan hal yang sama. Ia tersenyum melihatku mengaduk-aduk makanan yang tinggal beberapa suap. Tidak lama, kepala Juni menengok ke arah kiri. Aku segera menyusulnya. Kami berdua sama-sama mendengar suara mobil berhenti. Sepertinya pengemudi mobil itu belum terlalu mahir mengendalikan mobilnya. Terdengar suara injakan rem menderu sangat kuat.
Seorang wanita cantik berada di dalam mobil merah terlihat memejamkan kedua matanya. Ia menghembuskan udara di dalam dada yang sempat tertahan. Wajahnya melukiskan ekspresi kepasrahan. Sesosok kucing kecil melanjutkan perjalananya menyeberang jalan. Kucing kecil itu dikagetkan dengan mobil merah wanita itu yang tiba-tiba berhenti tepat di depan kepalanya. Ia nyaris terlindas.
Mobil merah berhenti tepat di depan rumahku. Wanita membuka kedua matanya untuk mengarahkan kaca mobil ke wajahnya. Agar ia bisa memeriksa kerapian wajah dengan sempurna. Wajahnya cantik. Bibirnya berwarna merah marun terang. Merasa penampilannya masih oke, wanita itu bergegas melepas sabuk pengaman. Terlihat kuku-kuku jarinya berwarna merah menyamai warna bibirnya. Ia mengambil napas sebelum membuka pintu mobil. Ekspresi kepasrahan wanita berganti menjadi kebingungan.
Juni si mahir urusan rumah tangga, segera menyadari seorang tamu datang. Ia seperti bisa merasakan aura kedatangan seseorang. Juni melupakan aku yang masih sarapan dan berjalan tergesa membuka pintu depan rumah. Aku melihatnya sambil memasukkan suapan terakhir ke dalam mulut. Sambil mengunyah suapan makanan terakhirku, telingaku mendengar suara ketukan pintu. Di pintu depan, Juni tidak lantas membuka pintu. Ia berbalik untuk melihatku. Aku mengangguk memberinya isyarat untuk membukakan pintu.
“Yuni, ini tante!” seru wanita di luar rumah. Tante? Seingatku aku tidak mempunyai tante. Sejak kecil aku tidak pernah bertemu tante. Ayah dan Ibu juga tidak pernah menceritakan sosok tante di dalam keluarga. Tante termasuk kata asing.
Aku melompat dari kursi makan. Berlari menyusul Juni di depan pintu. Pada akhirnya Juni gagal membuka pintu. Begitu pintu dibuka, aku menyaksikan dengan takjub sosok wanita yang mengaku sebagai tante itu. Hidungnya mancung, kulitnya putih, bibirnya merah dan di kedua telinganya terpasang sapasang anting-anting yang sering dipakai pembawa acara gosip di televisi. Jangan lupakan setelan baju blouse resminya yang kelihatan formal. Wanita tante itu seperti model yang keluar dari majalah fashion ternama. Penampilan tante hampir menyamai Mama Orlin.
Berbeda denganku, Juni beringsut takut. Kedua kakinya bergerak mundur beberapa langkah di belakangku.
“Maaf, Anda siapa, ya?” tanyaku dengan menaikkan alis mataku setinggi tiga senti lagi. Tante itu tersenyum lembut. Bibirnya melengkung dengan sangat cepat.