Tante Rini pergi dengan membunyikan klakson mobilnya sebanyak tiga kali. Kak Raka langsung melanjutkan bicara berdua denganku sangat serius. Kami mengobrol kembali di ruang tamu. Kakak memintaku untuk menerima tawaran baik hati Tante Rini. Ia bilang kedatangan Tante Rini adalah kesempatan sangat langka seumur hidup bagi anak-anak yatim piatu seperti kami. Tidak lupa, Kak Raka juga menceritakan kisah teman bekerja yatim piatunya yang nasibnya lebih buruk dari kami.
Jujur aku terpengaruh dengan cerita teman Kak Raka daripada nasihat yang diberikan kepadaku. Tanpa sadar aku melupakan Juni. Ia sedang sibuk mencuci tiga gelas sendirian di dapur. Juni tidak sepenuhnya sendirian. Ia ditemani suara keran air dan cucian piring yang dibunyikannya sendiri. Juga angin laut yang membuat suasana siang menjadi sedikit mengantuk. Juni mencuci piring di dapur sambil memasang telinga untuk mendengar suara Kak Raka membujukku. Selesai meletakkan gelas cuciannya, ia mengelap matanya kembali menggunakan lengan kanannya.
Sunset sore ini untuk kesekian kali terasa berbeda. Sebab, Juni menjadi sedikit pendiam. Ia tidak mengeluarkan satu katapun ketika kami berjalan bersama menuju pantai. Biasanya Juni akan membahas warna langit atau mengomentari jenis awan yang aku sukai. Kami selalu membahas, berbicara tentang awan dan langit menuju pantai. Aku merasa tembok tidak terlihat itu kembali hadir di tengah-tengah kami.
Setelah pembicaraan awan dan pantai selesai, aku sering membuka mulutku untuk memberikan topik pembicaraan baru. Beberapa hari ini, aku sering membahas Orlin. Aku terbiasa membuka mulut untuk memulai percakapan. Tapi, karena sikap diam Juni sedikit aneh. Bibirku merasa malas untuk mengatakannya. Sebenarnya, aku ingin membahas Orlin lagi. Meskipun diam, mata Juni terlihat sedang memikirkan sesuatu.
Angin laut sudah berulang kali menerpa tubuh kami. Menembus keadaan diam yang membelenggu kami. Aku merentangkan kedua tanganku lalu menutup kedua mataku untuk menerima belaian angin itu. Juni melakukan hal yang sama. Ia melakukannya sambil duduk berjongkok di sebuah batang kayu. Kedua kakinya terikat kedua lengan.
Aku perhatikan, kedua lengan Juni mulai bertambah besar. Tanpa sadar aku menyudari rentangan tanganku untuk memeriksa keadaan lenganku sendiri. Kurus dan sedikit gelap. Kedua lenganku masih utuh. Diam-diam aku membandingkannya sebentar dengan lengan Juni. Entah kenapa, aku merasa lenganku bertambah kecil.
“Yuni jangan lupakan aku, ya.” Akhirnya suara Juni yang aku tunggu-tunggu datang juga. Aku segera melesat duduk di sebelahnya. Tubuhku aku goyangkan ke kanan dan kiri secara perlahan. Aku melakukan itu, untuk membuat Juni menjadi lebih tenang dan santai.
“Kenapa aku harus melupakanmu?” tanyaku sambil memiringkan kepalaku semakin ke kanan.
“Kamu akan pergi dan tinggal dengan Tante Rini, kan?”
“Oh, jadi kamu setuju jika aku pergi?”