SUNSHINE

Nor Laila
Chapter #2

Bagian 2

"WHAT!!! Mama becanda, kan??" Aku yang tadinya duduk terpaksa berdiri setelah mendengar penuturan Mama. Ada apa lagi ini? Ku kira semua desakan-desakan mama selama ini tidak serius, tak ku sangka dia memikirkan tentang ku sampai seperti ini.

"Nggak usah teriak kali Del! Disini ada Papa."

Aku melirik kearah Papa yang sedang duduk tenang di sebuah sofa, terlihat santai menyesap kopinya, seakan teriakan ku barusan tidak membuatnya terkejut, padahal Mama sudah melotot.

Aku duduk kembali, walau rasanya sofa yang ku diduduki sudah tak nyaman, rasanya duduk ditumpukkan paku. Semua gara-gara Mama.

"Aku nggak mau Ma, aku belum siap." ucapku akhirnya.

"Belum siap apanya? Kamu sudah lulus tiga tahun yang lalu, kok masih belum siap? Memangnya selama ini kamu ngapain? Beternak atau semacamnya?" Mama mulai mengomel lagi, tidak habis pikir dengan penolakan ku atas gagasannya.

Yah, menurutku aneh saja, kalau selama ini aku menolak untuk bekerja di perusahaan Papa, lalu Mama pikir aku mau bekerja di cafe milik kak Radit gitu? Ya nggak juga lah!

"Aku nggak bisa bikin kopi ma!" kataku beralasan, jangankan bikin kopi, dadar telur aja gosong.

"Siapa bilang kamu harus bikin kopi? Di sana ada baristanya kok, mama, kan cuma nyuruh kamu ambil alih kafe itu, bukan bekerja disana, lagipula kakak mu juga sudah tidak sempat mengurus kafe itu, dia sibuk di perusahaan nya sendiri." jelas Mama, dan aku mulai menggigiti bagian dalam pipi ku, menimbang-nimbang dan berpikir alasan apa yang bisa aku buat untuk menolak ultimatum Mama.

"Ma... Aku, kan nggak ngerti bisnis, kalau kafe itu bangkrut gimana? Aku denger juga kafe itu saat ini lagi sukses-suksesnya, kan?"

"Justru itu Adeline! Bukannya malah bagus? Pekerjaan mu, kan jadi enteng." Mama melipat satu kakinya, mulai terlihat yakin kalau sebentar lagi aku akan kalah, tapi siapa bilang? Aku nggak akan mengiyakan keinginan Mama apapun yang terjadi!

"Kakakmu kerepotan, kafe itu sebenarnya sangat laku, harusnya sudah membuka cabang dimana-mana, tapi karena kakakmu sibuk di agensi pengacaranya, kafe itu jadi terbengkalai, istrinya juga sibuk di klinik, harusnya kau itu kasihan pada Mas-mu itu. " Dengan gaya ala-ala princess Mama menyesap tehnya, semakin merasa berada diatas angin, apalagi dengan keberadaan Papa di ruangan ini, bisa dibilang Mama punya suporter untuk menekan ku.

"Kalau Mas Radit emang kerepotan, yaudah tutup aja, gampang, kan?" jawabku santai hingga membuat ekspresi Mama berubah seketika, urat-urat lehernya mulai nampak menandakan sebentar lagi gunung Merapi akan meletus dari mulutnya.

"Turuti saja Del, kemauan Mama mu, memangnya kau tidak capek apa setiap hari mendengar omelan nya?" Papa buru-buru berujar sebelum mama benar-benar menyemburkan kalimatnya.

Tuh, kan! Apa ku bilang, Papa pasti juga bakal ikut-ikutan walaupun aksinya tidak se ekstrim Mama.

"Papa pikir aku nggak capek ya setiap hari ngomelin anak weddo mu ini? Seandainya mulutku ini bisa lepas, mungkin udah lama lepas dia gara-gara ke seringan nasehatin Adel, ini Loh anaknya kekebalan otaknya tuh terlalu berlebihan sampai diomelin tujuh hari tujuh malam juga dia nggak mau peduli!" Mama nyerocos dengan kalimat panjang lebar bak kereta api, tanpa jeda dan titik koma, telingaku saja terasa sakit mendengar lengkingan teriakan Mama, aku heran kenapa Papa bisa tahan selama ini hidup dengan Mama yang suka mengomel ini, aku aja rasanya pengen kabur dari rumah.

"Mama mu benar Del, lagipula apa salahnya kalau kamu nyoba dulu, toh pekerjaan di kafe lebih enteng dari pada di perusahaan Papa, karyawan Mas mu juga sudah banyak disana, pekerjaan mu tidak akan sulit disana."

Tuh kan! Papa malah mendukung mama seribu persen.

"Tapi Pa...."

"Tapi tapi apa lagi sih Del? Kamu nggak denger apa kata Papa tadi? Mau ngelawan Papa? Mau kartu kredit mu di blokir?"

Lihat selengkapnya