"Dia sudah punya anak."
"AAAAA!!!"
Aku melompat ke sisi kanan, terkejut sambil memegangi dadaku yang sudah berdetak 100 kali/detik.
Bisikan yang membuat telingaku seperti mati rasa itu dari laki-laki ini, yang sedang tertawa melihat ekspresi terkejut dan syok yang memenuhi wajahku.
"Ada apa sih?!" kataku marah, apalagi melihatnya yang masih tertawa sambil menumpukan satu tangan diatas meja. Aku heran kenapa disaat-saat seperti ini dia juga muncul, apa dia benar-benar hantu atau semacamnya.
"Habis... caramu melihat Chef itu lucu."
"Lucu apanya?"
"Yah, seakan kamu itu bilang, apakah dia mau menjadi ayah dari anak-anak ku." Laki-laki bernama Fajar itu berakting menirukan suara perempuan.
Damn! Kok dia tau?
"Maksudnya?" Aku pura-pura nggak ngerti.
"Maksudnya, Chef Cakra udah punya anak, istrinya baru melahirkan bulan lalu."
What??!! Punya anak?
Kepalaku langsung pening, rasanya seperti jatuh dari ketinggian 10.000 kaki.
Nyatanya episode kemalangan ku belum tamat, malah semakin ruwet seperti alur cerita sinetron Indonesia.
Hidup emang nggak adil!
"Loh! Memangnya apa hubungannya dengan ku?" aku berusaha terlihat santai walau rasanya seperti baru di lempar tomat tepat di wajah.
"Cuma ngingetin, kali aja kamu mikir buat__"
"Ngaco kamu!" Aku tertawa, agar terlihat lebih meyakinkan. Rasanya seperti sedang menabur garam di luka sendiri. Perih.
"Tapi aku belum punya anak Loh, jangankan punya anak, istri aja belum, masih original."
Siapa yang nanya Bambang!!
"Oh."
"Kok 'oh'?"
"Trus aku harus bilang Wow!! Amazing!! gitu?"
"Nggak, kali aja kamu mau nembak aku, aku mau kok."
"Haha. Bye Fajar!" Aku cepat-cepat lari menuju ruangan ku.
Orang ini sudah gila! Aneh! Idiot! Sok asik!
Kesel!!
Tapi, ada baiknya juga sih, kalau bukan karena Fajar, hampir aja aku jadi pelakor. Walaupun se-ngenes ini, suami orang bukan salah satu jalan keluar, gini-gini aku duta anti pelakor, bibit-bibit pelakor harus dimusnahkan dari muka bumi ini, dan apa kata alam semesta kalau Adeline jadi pelakor?
Bikin malu tujuh turunan.
Semempesona apapun itu Kepala Chef, aku nggak akan mau kalau dia sudah punya istri.
Tapi, kenyataan ini juga berarti kalau waktu ku belum tiba, dan penderitaan serta tekanan Mama masih berlanjut?
Damn it!
*****
Sebagian besar waktu hari itu hampir ku habiskan dengan melamun. Tak ku sangka aku memikirkan kejadian tadi pagi terlalu berlebihan, entah bagian yang mana, Zul yang ku anggap sebagai tolak ukur perempuan yang disukai laki-laki, atau cinta pandangan pertama ku pada Cakra. Aku tidak bisa memutuskan pikiran bercampur bak gado-gado yang sedang mengisi otakku sekarang.
Terlalu berlebihan atau memang aku sudah mulai menyadari bahwa ada sisi kesepian yang kini berontak dalam diriku. Aku tidak mengerti kenapa baru sekarang, dan apa yang memicu rasa itu keluar, sebelumnya aku baik-baik saja dengan segala keadaan dan kemalangan ku. Tapi belakangan ini, tepatnya saat aku mulai kembali terbuka dengan dunia luar, aku mulai memikirkannya.
Biasanya, saat dirumah, hanya mama yang terus menekan ku, tapi sekarang bahkan lingkungan sekitar ku juga.
Dengan segala pikiran yang kacau aku melangkah menuju pintu, tergesa-gesa. Lebih lama lagi aku didalam ruangan ini sendirian mungkin aku akan mati.
"Moccacino es satu." Kataku saat sudah mendarat kan bokongku di kursi dengan meja berbentuk bar, tempat biasanya Barista meracik kopi pesanan pelanggan. Tanpa memperdulikan mungkin berapa banyak antrian pesanan yang ku serobot, dan tatapan bingung dari karyawan terhadap ku. Masa bodoh, yang kulakukan sekarang hanya memegangi kepalaku yang sudah berdenyut-denyut.
Otak ini, mentang-mentang lama tidak dipakai berpikir, malah manja. Diajak berpikir keras sedikit saja sudah K.O!
Asem!!
Pesanan ku siap secepat kilat, tentu saja aku di preoritaskan, aku, kan owner.