Satu hari, seminggu, dua Minggu, satu bulan. Waktu bergulir begitu tidak terasa, dan tiba-tiba saja aku mendapati diriku yang semakin serius menjalani pekerjaan di Kafe Mas Radit.
Baiklah! Baiklah! Tidak seserius itu, segala bentuk pembukuan dan lain-lain masih di pegang Mbak Mita, aku hanya kebagian tugas mengawasi dan sok memerintah. Tapi masih belum bisa ku percaya, kalau Kafe jadi tempat favorit kedua bagiku setelah kamar.
Selain itu, hari-hari ku juga masih dihiasi oleh wajah Fajar dan senyum manis ala ceweknya. Dia selalu muncul di tempat yang terduga dan secara sengaja selalu berusaha mengajakku bicara.
Seperti biasa, cara bicaranya yang nyeleneh dan gombalan-gombalan murahannya mulai jadi santapan sehari-hari bagiku, dan secara sadar atau tidak, aku mulai terbiasa.
Rasanya senang aja, punya seseorang untuk di kerjai. Seperti halnya kasus dinner kemarin, Beberapa kali aku juga berhasil membuatnya kesal. Dan rasanya ternyata luar biasa, pantas saja mama sangat suka mem-bully ku.
Yah! Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, kan? Sekarang aku mewarisi sifat mama, hanya saja caraku lebih elegan. Perempuan yang sedikit bicara tapi saat bicara pedas, itu baru Ok!
Hari ini aku tidak langsung ke Kafe, karena Pagi-pagi Mas Radit menelpon, memintaku untuk sarapan di rumahnya. Aku menurut saja, lagipula ada beberapa hal yang ingin kutanyakan pada Mas Radit tentang Kafe itu.
Aku sampai didepan rumah Mas Radit sebelum jam delapan, ya itu mudah, karena rumahnya tidak begitu jauh dari rumah ku, tiga puluh menit jalan kaki, lima belas menit bersepeda, dan tidak sampai sepuluh menit memakai motor atau mobil, bila rata kecepatannya 40km/jam. Intinya aku sudah sampai.
Aku masuk tanpa mengetuk, bahkan tanpa bertanya satpam langsung membukakan pagar untukku, hampir semua penghuni rumah Mas Radit mengenalku, sebenarnya akulah yang paling sering berkunjung ke rumah ini lebih dari siapapun, apalagi saat aku berantem sama mama. Rumah Mas Radit adalah pelarian terbaik. Banyak makanan, tempat yang nyaman untuk beristirahat, dan yang paling penting, gratis.
"Apa kabarmu Del?"
Kalimat pertama dari Mas Radit saat aku duduk bergabung di meja makan besar itu.
"Seperti biasa Mas." jawabku sambil meraih segelas jus yang di suguhkan Mbak Jasmine kepada ku. "Minumannya enak Mbak Melati." pujiku.
"Terimakasih." Mbak Jasmine tersenyum sambil menyuapi si kecil Noah.
"Nama istri ku Jasmine Del, bukan Melati." sahut Mas Radit tidak terima.
"Jasmine... Melati... Apa bedanya?" Aku mengangkat bahu tidak peduli.
Aku memang terbiasa memanggil istri Mas Radit dengan nama Melati dari pada Jasmine. Lebih enak aja disebutnya. Lagipula yang punya nama juga tidak pernah protes tuh.
Mas Radit menghela nafas pelan, sudah tidak mau membahas topik yang terlalu sering terulang setiap aku salah memanggil nama istrinya.
"Bagaimana Kafe sekarang?"
Aku manggut-manggut, ya, apalagi maksud Mas Radit memanggil ku kalau bukan karena tentang Kafe.
"Baik-baik saja." kataku sambil memperhatikan si kembar yang sedang berperang sendok.
"Serius Del, maksud ku bagaimana dengan pemasukan, pengeluaran, gajih karyawan, insight dalam sebulan ini?"
"Itu sudah diurus Mbak Mita."
"Lalu kau mengerjakan apa?"
"Aku, kan Owner, memangnya aku harus mengerjakan apa?"
"Secara teknis, Owner sebenarnya adalah aku, sedangkan, kau, owner yang dibayar."
"Baiklah." Aku mengangkat bahu malas, lalu mengisi mulutku dengan makanan.
Mas Radit tertawa.
"Ada apa?" aku menatapnya kesal. "Bukankah Mas Radit sendiri yang bilang kalau aku tidak perlu mengerjakan apa-apa disana?"
"Iya, tapi kau juga harus tau tentang seluk-beluk Kafe itu dengan sebaik mungkin, sebelum aku benar-benar menyerahkan Kafe itu padamu."
Aku tersedak mendengar Mas Radit mengatakan itu, hingga mengundang tawa semua orang termasuk si kembar dan si bayi, ikut-ikutan tertawa.
"Jangan becanda ah Mas." kataku, mengusap sedikit iler yang keluar di ujung bibirku akibat tersedak barusan.
"Ngapain becanda, Mas serius kok, tanya aja Mbakyu mu."
Aku mengikuti pandangan Mas Radit kearah istrinya, wanita cantik itu mengangguk setuju.
"Serius??"
"Iya Del, lagipula Mas mu juga udah nggak bisa ngurus Kafe itu." jelas Mbak Melati.
"Tapi, kan Kafe itu tanda cinta Mas buat Mbak Melati." sergahku, agak sedikit tidak setuju, walau jelas-jelas harusnya aku senang, tapi aku hanya ingin memastikan.
Mas Radit berdehem gugup saat Mbak Melati menatapnya curiga. Ya, tentu saja Mas Radit pernah menceritakan tentang hal itu padaku, dulu, dulu.... Sekali.
"Mas mu sudah cukup membuktikan cintanya." Mbak Melati menunjuk ke tiga anaknya dengan kerucutan bibir.
Mas Radit terlihat tersipu dan aku tergelak sendiri.
Dengan satu gerakan cepat aku melompat turun dari kursi, menariknya ke seberang meja untuk mendekati Mbak Melati.