Satu hari sudah aku tidak sadarkan diri. Namun aku masih bisa merasakan kedatangan Bunda di sampingku, tanganku pun bisa merasakan sentuhan lembut tangan Bunda yang menggenggam erat tanganku, dan aku bisa mendengar isak tangis Bunda saat itu. Ingin rasanya aku membuka mata, dan menggerakkan bibir ini lalu mengatakan, “ Aku baik-baik saja Bun.” Namun sayang, mata ini masih terasa berat untuk dibuka, dan bibir ini pun kaku untuk digerakkan. Yang aku dengar kini hanya suara Bunda, seakan-akan sedang mengajakku berbicara dengan suara yang terdengar sendu penuh kesedihan. Aku bisa merasakan sentuhan tangan Bunda yang saat ini mengelus rambutku secara perlahan, hati ini pun merasakan kenyamanan dari sentuhan yang Bunda berikan dengan penuh kasih sayang itu.
“Sayang, andai selama ini kamu tau maksud Bunda. Sikap Bunda yang bikin kamu gak nyaman selama ini semata-mata Bunda lakuin demi kesehatan kamu, Sayang. Kamu gak pernah ngerti, betapa tersiksanya hati Bunda yang selalu dihantui ke-kwatiran yang luar biasa. Apa kamu tau Sayang? Bunda gak pernah bisa tenang melewati setiap detik, setiap menit, setiap jam yang berlalu. Dalam hati Bunda selalu ada pertanyaan,, apakah kamu masih bisa melewati hari? Dan apa kamu juga tau Sayang? Setiap malam saat kamu akan memejamkan mata, Bunda selalu ketakutan, akankah besok pagi kamu masih bisa membuka mata kamu? Setiap hari selama tiga tahun perasaan itu selalu menghantui pikiran Bunda, Sayang."
"Berat bagi Bunda melepas kamu jauh dari Bunda, tapi demi kebahagiaan kamu Bunda rela lakuin itu. Meski akhirnya kamu harus seperti ini, Bunda benar-benar merasa bersalah, Sayang. Bunda cuma bisa memendam semua itu sendiri, Bunda gak mau kamu tau kesedihan dan ketakutan Bunda. Dan keadaan kamu sekarang, semakin membuat Bunda takut. Bunda takut kamu gak bangun, Bunda takut kamu pergi. Bunda belum siap kamu tinggalin, Sayang. Bunda belum siap kehilangan kamu...” ungkap Bunda sambil mencium tangan kiriku.
Ya Tuhan,, hati ini terasa terhantam pukulan yang sangat keras setelah mendengar perkataan Bunda untukku. Betapa jahatnya perlakuanku terhadap seseorang yang sudah rela mempertaruhkan nyawanya saat melahirkanku. Tapi apa yang selama ini aku berikan untuknya? aku hanya bisa menyakiti hati dan mengecewakannya. Ingin rasanya aku meminta maaf dan teriak, “Maafin aku Bunda.” Namun bibir ini amat sangat sulit untukku gerakkan apalagi mengeluarkan suara. Hanya air mata yang bisa menetes saat ini, untuk mewakili seluruh rasa sesalku.