Sunshine (Ketulusan, Cinta & Pengorbanan)

Widhi ibrahim
Chapter #4

Bab 1 - part 4

Pagi harinya, tubuh ini mulai terasa membaik. Meski selang infus dan selang oksigen masih menempel di tangan dan lubang hidungku. Saat itu, sekitar pukul 06:00 pagi. Rasanya aku ingin bangun dari tempat tidur, lalu bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Meski baru satu minggu tidak masuk kuliah, aku merasakan kerinduan yang begitu besar kepada ketiga sahabatku, Citra, Friska, dan Ririn. Meski bagi mereka aku ini adalah teman yang baru menjadi sahabatnya selama enam bulan belakangan ini, namun mereka tak pernah membeda-bedakan aku. Mereka selalu terbuka tentang semuanya, seakan-akan aku ini sudah menjadi teman mereka selama bertahun-tahun. Namun tubuhku yang lemas ini menjadi hambatan, dan dengan terpaksa aku harus tetep ada di rumah dan terbaring di atas tempat tidur.

Saat aku mencoba untuk duduk, tiba-tiba Bunda masuk dan langsung menghampiri lalu menyuruhku untuk tetap berbaring.

“Sayang ... kamu mau ngapain? Jangan banyak bergerak dulu ahh,” kata Bunda sedikit panik.

“Hanin cuma pengen duduk aja, Bun. Tapi ko badan Hanin lemes banget ya, Bun? dada Hanin juga terasa sesak?”

Tiba-tiba Bunda menatap wajahku aneh, Bunda genggam tanganku lalu beliau ciumi sambil meneteskan air mata dan berulang mengusap rambutku dengan tatapan tak biasa. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran Bunda saat ini, sehingga membuatnya menangis. Namun aku bisa merasakan ada kesedihan di dalam hati Bunda. Entah apa itu, yang jelas sikap Bunda memperlihatkan seperti tak ingin aku mengetahuinya.

“Bunda sayang ...” ujarku sambil menghapus air mata yang membasahi pipinya. “Bunda gak boleh sedih gitu ahh. Hanin baik-baik aja ko, Bun. Apa yang Hanin rasain sekarang ini tidak terlalu berarti. Nanti juga bakal kembali seperti semula. Bunda jangan sedih! Bunda tau kan kalau Hanin kuat? Hanin pasti sembuh Bun,” lanjutku sambil tersenyum penuh keyakinan.

Namun air mata Bunda malah semakin banyak menetes, dan Bunda langsung memelukku erat.

“Iya Sayang, iya. Kamu emang harus sembuh! Kamu, harus sembuh sayang ... harus!” ujar Bunda sambil menatap wajahku lalu mencium keningku.

Lihat selengkapnya