Beberapa bulan yang lalu.
Besar dalam keluarga kaya raya dan tinggal di rumah mewah yang menyerupai sebuah istana, adalah impian setiap orang. Kerena kenyamanan dan kebahagian sudah pasti terdapat di dalamnya. Tapi tidak dengan aku. Hidup serba berkecukupan bersama Bunda dan kedua kakakku lantas tidak membuatku bahagia. Semua bisa Bunda beli dengan uang, tapi tidak dengan kebahagiaanku. Mungkin aku tidak bersyukur? Bukan... Mungkin aku tidak beruntung? Ya... Bisa dibilang aku kurang beruntung, karena aku sakit.
Hari ini, tepatnya bulan dimana universitas-universitas membuka pendaftaran untuk mahasiswa baru. Pagi, sekitar pukul 10:00 aku menghampiri Bunda yang sedang duduk sendirian di ruang tengah sambil menonton tayangan televisi genre drama, Bunda terlihat terhanyut mengikuti alur dalam tayangan yang sedang Bunda tonton. Dengan rasa tidak enak karena akan mengganggu Bunda, dengan lembut aku mencoba menegur Bunda.
"Pagi, Bun." Aku duduk di samping kanan Bunda.
"Ehh, Sayang," jawab Bunda sambil mencium keningku.
"Bun, Hanin boleh ngomong sesuatu gak?"
"Apa, Sayang?"
"Bun, Hanin mau minta izin buat daftar masuk universitas. Boleh ya, Bun?" pintaku.
Mendengar itu Bunda langsung kaget. Pandangan Bunda beralih tak lagi memandang ke arahku, seakan-akan membuang muka dan malah terdiam.
"Bun, boleh kan?" tanyaku lagi.
"Enggak, Sayang!" jawab Bunda singkat dan ketus.
"Kenapa Bun? Hanin pengen ngelanjutin sekolah Hanin. Hanin masih berhak untuk itu kan, Bun?"
"Pokoknya Bunda gak akan ngizinin kamu!"
"Kenapa, Bun? kasih aku alasan. Apa karena aku sakit?"
Bunda terdiam, aku pun dibikin penasaran. Sambil menebak alasan apa yang akan Bunda katakan sampai-sampai membuatnya tidak mau memberikan aku izin.
"Bunda cuma gak mau kamu kecapean. Bunda gak mau ambil resiko. Jadi tolong dengerin Bunda!"
"Aku emang sakit, Bun! tapi aku gak selemah yang Bunda pikir. Aku bisa buktiin ko, kalau aku pasti kuat untuk beraktivitas normal. Dan aku janji, aku pasti baik-baik aja. Please Bun ... boleh ya?"
"Hanin! tolong jangan bantah Bunda!" kata Bunda sedikit membentakku.
"Bunda gak adil." Seketika air mataku menetes dan aku langsung pergi meninggalkan Bunda.
Di kamar, yang terletak di lantai dua. Aku berdiri di balkon kamar. Pandanganku melihat ke bagian bawah rumah. Dimana terlihat ka Sandra, kakak perempuanku yang hendak pergi bersama beberapa teman yang sudah menunggunya di depan rumah. Dalam hatiku rasa iri benar-benar muncul, aku benar-benar iri melihat ka Sandra. Aku sangat ingin seperti kakakku. Yang bisa bebas pergi kemana saja, dan punya banyak teman.
"Enak ya jadi ka Sandra? Bisa keluar rumah, bisa pergi kuliah, dan punya banyak teman. Tapi aku, aku hanya burung dalam sangkar emasnya Bunda. Yang terkunci rapat, dan tidak bisa terbang bebas," ucapku dalam hati.
Aku beranjak dari balkon dan melangkah masuk ke dalam kamarku. Mata ini memandang seluruh isi kamar, dimana terdapat banyak sekali alat-alat medis di dalamnya. Satu per satu kusentuh alat-alat yang ada, dari mulai monitor EKG, tabung oksigen, botol cairan infusan yang masih menggantung, dan tempat tidur yang sudah tertata rapih. Lalu aku duduk di atas tempat tidur itu.