Senin pagi, dimana ini adalah hari yang paling aku tunggu. Hari ini aku menyandang status baruku sebagai mahasiswi jurusan Akuntansi di sebuah universitas. Dengan mengenakan jeans, baju lengan panjang berwarna putih, tas yang kugendong, dan kupluk di kepala. Tak lupa kacamata yang bisa membantuku membaca pas belajar nanti sudah melengkapi penampilanku hari ini. Aku keluar dari mobil sport berwarna merah yang di kendarai ka Hans.
"De, inget. Jangan kecapean dan obatnya jangan lupa diminum tepat waktu!" pesan Ka Hans padaku.
"Oke siap, Ka" kataku sambil hormat seperti seorang prajurit yang siap melaksanakan perintah komandannya. Aku pun membalikan badan dan mulai melangkah pergi.
"De...." Terdengar suara Ka Hans memanggilku lagi.
Aku pun berbalik dan kembali mendekat ke pintu mobil yang sudah tertutup namun kacanya masih terbuka. Ka Hans menyodorkan sebuah ponsel untukku, aku pun tersenyum.
"Ka... handphone buat aku?" tanyaku tak percaya.
Karena selama ini Bunda sangat melarang aku untuk menggunakan gadget dengan alasan radiasi yang dapat memperburuk kesehatanku.
"Mulai sekarang kamu pake handphone itu, biar kita mudah berkomunikasi. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Kakak! nomor Kakak, Bunda, ka Sandra sama telpon rumah semua udah ada di situ. Inget, kalau ada apa-apa langsung hubungi Kakak!" Tegas Ka Hans.
"Iya Ka, makasih ya Kakakku sayang." Aku tersenyum.
Ka Hans pun membalas senyumanku. Kaca mobil pun di tutup, dan mobil yang Ka Hans kendarai pun pergi, begitu juga aku yang mulai melangkah masuk ke dalam area kampus yang cukup luas itu dengan penuh semangat.
Mulai hari ini, kujalani hariku sebagai seorang mahasiswa, dengan berbagai kesibukan pastinya. Karena belum terbiasa melakukan banyak aktivitas, kondisiku sempat turun naik. Kadang mendadak dadaku terasa sesak, sakit kepala tiba-tiba muncul. Bahkan aku sempat harus badtress karena kondisiku yang bisa di bilang ngedrop. Hingga Bunda dibikin ragu, dan ingin mencabut izin yang telah Bunda berikan kepadaku. Karena kondisiku jadi tidak stabil semenjak masuk kuliah, membuat Bunda didera rasa khawatir yang sangat luar biasa.
Hingga tiba di suatu hari. Saat pulang kuliah ka Hans hanya bisa mengantarkanku sampai depan rumah, karena ka Hans harus kembali lagi ke rumah sakit. Saat aku memasuki rumah, suasana rumah terlihat begitu sepi. Aku berjalan menuju kamarku dengan langkah yang lemas. Entahlah, rasanya hari ini tubuhku terasa beda. Kepala ini terasa berat, tubuh ini pun terasa lemas. Sampai akhirnya aku mendadak jatuh pingsan. Kebetulan ka Sandra yang baru pulang kuliah melihatku jatuh pingsan. Dia langsung menghampiriku, kemudian membawa ku masuk ke dalam kamar. Dengan segera ka Sandra menghubungi tante Dewi.
"Halo tan ... tan tolong ke rumah, tan. Iya tan ... Hanin pingsan nih. Iya aku juga gak tau kenapa. Ya udah cepetan yan tan ... Sandra tunggu!" ujar Ka Sandra panik. Lalu Ka Sandra menampar-nampar pelan pipiku, menyuruhku untuk bangun. "Nin lo bangun, Nin! Nin lo bangun! Nin ... bangun dong!" Ka Sandra kesal. "Hanin gue minta lo bangun!" Teriak cukup keras dengan nada menekan.
Sampai akhirnya aku pun membuka mata. Mungkin karena pengaruh dari teriakan Ka Sandra yang cukup keras di telingaku. Tapi Aku malah tersenyum, saat melihat wajah Ka Sandra yang terlihat begitu panik , seperti mengkhawatirkan keadaanku.
"Huh ... akhirnya lo bangun juga," kata Ka Sandra menghela nafas lega.
"Kakak khawatir sama aku?"
Ka Sandra di bikin salah tingkah dengan pertanyaanku.
"Jangan ngarep deh, gue cuma takut lo mati aja pas lo ada di tangan gue. Entar Bunda nyalahin gue lagi. Ya udah lo tunggu aja, sebentar lagi tante Dewi datang," jawab Ka Sandra jutek.
"Makasih ya, Ka" ujarku berterimakasih.
Aku tersenyum. Ka Sandra pun pergi keluar dari kamarku.
Gara-gara kondisiku yang ngedrop seperti ini, Bunda jadi melarangku untuk melakukan aktivitas seperti remaja pada umumnya.
"Bunda rasa cukup sampe disini Nin, tolong jangan memaksakan diri!"
"Kasih Hanin kesempatan Bun, Hanin mohon."
"Bunda gak mau ambil resiko lebih buruk dari ini. Bunda cuma pengen kamu sehat dan terus nemenin Bunda, itu aja. Tolong kali ini dengerin Bunda!"
"Tapi Hanin pengen kaya orang lain Bun, bisa kuliah, punya banyak teman, dan bisa ngerasain apa yang belum pernah Hanin rasain. Hanin mohon Bun, Hanin janji akan lebih memperhatikan lagi kondisi Hanin. Hanin mohon Bun... kasih Hanin kesempatan lagi. Plissss..."
Bunda hanya terdiam, dalam pikiran Bunda pasti banyak pertimbangan untuk memberikan izin lagi untukku atau tidak sama sekali.
***
Setelah sembuh, aku memanfaatkan hari-hariku sebagai mahasiswa dengan penuh rasa bahagia. Setiap hari ka Hans atau Bunda bergantian mengantar jemput aku ke kampus. Meski belum mendapat teman, aku cukup bahagia karena aku mampu hidup normal, dan aku sama sekali tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang sudah Bunda berikan lagi padaku. Meski setiap harinya aku harus ada di dalam pengawasan Bunda dan ka Hans. Sehingga tak sedikit teman-teman kampus yang bilang aku anak mami dan lain sebagainya. Namun aku tak peduli akan hal itu, yang terpenting hari-hariku berlalu dengan indah.
Semakin hari, tante Dewi bilang kondisi tubuhku semakin membaik. Mungkin karena semangatku yang besar untuk bisa hidup normal. Wah,, senang sekali mendengar semua itu. Hingga tak terasa empat bulan sudah aku menjalani hari sebagai anak kuliahan, yang sibuk dengan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Dan yang lebih bahagia lagi, selama empat bulan itu pula rasa sakit itu tak pernah muncul lagi. Tapi ada satu hal yang membuatku merasa iri saat berada di dalam kelas. Aku selalu memperhatikan tiga orang teman perempuan sekelasku yang begitu akrab, sering becanda tawa, mereka terlihat begitu kompak.
Pagi itu, suasana di dalam kelasku cukup gaduh. Karena belum ada dosen yang masuk. Diam-diam aku selalu memperhatikan tiga orang yang bersahabat itu, yaitu Citra, Friska, dan Ririn. Mereka sedang ngobrol-ngobrol di kursi mereka yang jaraknya hanya terhalang dua kursi dari tempat dudukku.
“Gimana sih rasanya punya temen?” tanyaku dalam hati.