Malam hari, di kamarku yang masih tampak seperti ruang ICU, aku duduk di atas tempat tidur sambil menulis sesuatu di sebuah buku warna pink, yang merupakan buku diary tempat mencurahkan seluruh isi hatiku selama ini.
“Terimakasih ya Allah, satu per satu dari keinginanku telah terwujud. Apa yang selama ini jadi mimpi bagiku sekarang menjadi nyata.Mulai dari sekarang aku janji tidak akan pernah mengeluh lagi, karena hidup ini begitu indah untuk kusyukuri. Dan jika kau telah berkehendak, maka tidak ada yang mustahil di dunia ini. Ajari aku untuk terus bersyukur ya Allah, atas semua yang telah engkau berikan selama ini. Agar aku semakin mengerti bagaimana cara memahami hidup.”
Itulah uangkapan kebahagiaan hatiku yang ditulis di buku diary. Yang sudah lama menjadi tempat curhatku.
Treeeekkkk... suara pintu terbuka, pandanganku langsung teralih ke arah pintu. Dan ternyata yang masuk adalah Bunda.
“Ehh, Bunda...” kataku tersenyum sambil menutup buku diary dan menyimpannya di bawah bantal.
Sementara Bunda sedang berjalan menghampiri dan kemudian Bunda duduk di sebelah kananku.
“Bunda kira kamu udah tidur.” Sambil mengelus-ngelus kepalaku. “Gimana kuliah kamu, Sayang?” tanya Bunda.
“Lancar ko, Bun” jawabku tersenyum.
“Syukurlah... tapi Bunda boleh minta satu hal gak sama kamu Sayang, tolong jangan sering pulang telat ya! apalagi sampe malem. Bunda takut ngerusak kondisi kamu.”
“Tapi kan aku udah gak apa-apa, Bun... buktinya selama empat bulan ini aku gak pernah drop. Bahkan sakit itu gak pernah muncul lagi. Itu tandanya aku membaik kan, Bun?” ujarku sambil tersenyum.
“Tapi bisa aja...” perkataan Bunda terpotong olehku dengan sengaja.
“Hanin mohon, Bun... percaya sama Hanin. Hanin baik-baik aja, Hanin bisa jaga kesehatan Hanin. Dan Hanin yakin, Hanin pasti sembuh,” ujarku optimis.
Bunda tersenyum dan langsung memelukku.
***
Jam 09:00 pagi, di kamarku. Tante Dewi yang ditemenin Bunda dan ka Hans sedang memeriksa kondisi badanku. Setelah selesai, tante Dewi langsung melempar senyuman kepadaku. Aku pun tersenyum dan dengan antusias langsung bangun dari posisi terbaring.
“Gimana, Tan?” tanyaku pada Tante Dewi dengan penuh semangat.
“Good...” Tante Dewi mengacungkan kedua jempol tangannya kehadapanku. “Kamu menjalankan perintah yang Tante berikan dengan baik, kondisi kamu jauh semakin membaik dari sebelum–sebelumnya, Nin.”
Aku pun tersenyum bahagia mendengar kabar baik itu.
“Allhamdulilah...” Bunda pun tak kalah bahagia mendengar itu. Bunda langsung mendekatiku dan mengelus rambutku.
“Tuhh... Bunda denger, kan. Kondisi aku semakin membaik, jadi Bunda gak usah khawatir sama aku.”
“Iya, Sayang...” Bunda mencium keningku.
“Tapi inget, Nin... obat tetep harus diminum, dan jangan terlalu kecapean ya! Tante gak mau denger kamu sakit kepala lagi, apalagi sampe pingsan.”
“Tuh denger kata Tante Dewi, De...!” ujar Ka Hans.
“Siap!” Sambil mengangkat tangan kananku kemudian hormat sambil tersenyum. Bunda, Tante Dewi dan Ka Hans pun ikut tersenyum melihatku.
***
Suasana kampus saat itu tidak cukup ramai, Aku, Citra, dan Friska sedang berjalan di koridor kampus sambil ngobrol-ngobrol.
“Ko tadi lo gak masuk sih, pas jam kuliah pertama?” tanya Citra kepadaku.
“Ada keperluan dulu, Cit. Makanya aku telat ke kampusnya,” jawabku sambil tersenyum kecil.
Sambil terus meneruskan langkahnya, tiba-tiba aku baru ingat sesuatu yang ingin aku tanyakan.
“Ohh iya, Ririn mana? Ko aku gak liat dia?” tanyaku.
“Tuh bocah gak kuliah, Nin... katanya mau pulang ke rumahnya dulu. Gak tau deh mau ngapain,” jawab Friska.
“Ko makin kesini, gue ngerasa Ririn makin berubah deh. Gue yakin nih, semua ini ada hubungannya sama pacarnya yang gak jelas itu.”
“Gue juga ngerasa kaya gitu, Cit... tuh cowo kayanya bawa pengaruh buruk deh buat Ririn.”
“Bukan kayanya, emang tuh cowo bawa pengaruh gak baik.”