Hampir setiap hari sehabis pulang kuliah, Citra, Friska dan Ririn selalu menyempatkan diri untuk menengokku, dan mereka selalu menciptakan sebuah senyuman di bibirku dengan cerita-cerita mereka. Hanya untuk menghibur aku, yang mulai down dengan rambut yang semakin hari semakin menipis, bisa dibilang nyaris botak. Aku senang karena mereka mau berbagi cerita denganku, setidaknya mereka tak ingin melihatku terus menerus memikirkan penyakitku.
Namun aku berbeda, aku memilih untuk diam dengan apa yang terjadi dan apa yang sedang aku rasakan, aku sama sekali tak ingin membagi penderitaanku ini kepada sahabat-sahabatku.
Di sela-sela mereka sedang bercerita, tiba-tiba saja sakit ini kembali muncul. Aku mencoba menyembunyikan sakit ini dari mereka, dan berusaha untuk tetap mendengarkan Friska yang saat itu sedang menceritakan kejadian lucu yang baru saja ia alami di kampus. Namun sepintar-pintarnya aku, tetap saja rasa sakit ini tidak bisa aku sembunyikan terus menerus. Kedua tangan ini meremas kepalaku yang terasa sangat sakit.
“Nin, lo kenapa?” tanya Citra panik.
Friska pun berhenti bercerita, mereka bertiga langsung panik melihatku yang terus meringis kesakitan.
“Hanin... lo kenapa, Nin?” Friska cukup panik melihatku seperti ini.
“Rin, mendingan sekarang lo cepet panggil ka Hans, sama nyokapnya Hanin!" usul Citra.
Ririn pun menganggukkan kepalanya dan langsung bergegas pergi dari kamar Hanin.
Sementara Citra dan Friska masih menemaniku dengan kepanikan dan kecemasan mereka melihat aku, yang semakin meringis kesakitan bahkan sampai meronta-ronta. Wajar bila mereka panik dan tidak tau harus berbuat apa, karena ini untuk pertama kalinya bagi mereka melihatku dengan kondisi seperti ini.
Tiba-tiba Ririn kembali masuk ke kamar sambil berlari kecil.
“Cit, nyokap Hanin sama ka Hans lagi gak ada di rumah,” ujar Ririn kepada Citra.
“Bunda, sakit, Bun... Bunda,” keluhku sambil memanggil-manggil Bunda yang sudah jadi kebiasaanku bila sedang kesakitan seperti ini.
“Tahan ya, Nin!” kata Friska menguatkanku.
“Terus kita harus gimana?” tanya Ririn.
“Telpon, telpon!” usul Citra.
Citra langsung mengeluarkan handphonenya, namun ia mendadak terdiam. Saking paniknya Citra sampai lupa kalau dia tidak punya nomor telepon ka Hans apalagi Bunda.