Sunshine (Ketulusan, Cinta & Pengorbanan)

Widhi ibrahim
Chapter #21

Part 2

Hari ini cukup cerah, meski kondisi tubuh ini mulai menurun. Tapi semangatku tidak boleh ikut menurun, seperti Matahari pagi ini yang begitu bersemangat menerangi Bumi.

Ka Hans masuk menghampiriku yang baru saja selesai minum obat. Meskipun akan berpengaruh pada ingatanku, tapi aku sadar aku tak mungkin berhenti mengkonsumsi obat penahan rasa sakit itu. Ka Hans mencium keningku lalu duduk di sampingku.

“Selamat pagi adik cantiknya Kakak," sapa Ka Hans sambil tersenyum.

“Selamat pagi dokter tampannya aku,” balasku sambil tersenyum, Ka Hans pun ikut tersenyum

“De... sesuai yang Kakak bilang, nanti siang kamu ada jadwal kemo lagi. Udah siap kan, Sayang?" tanya Ka Hans.

Aku belum menjawab pertanyaan Ka Hans. Mimik wajahku langsung berubah, aku malah menyenderkan tubuh ini ke bahu Ka Hans.

“Heyyy... ada apa, De?” tanya Ka Hans heran sambil mengelus-ngelus rambutku yang mulai menipis lebih tepatnya hampir botak.

“Kalau Hanin gak mau kemo, gak apa-apa kan, Ka?”

“Kenapa? Kemo itu penting, De. Untuk saat ini, kemo jalan satu-satunya yang bisa kita lakukan untuk memperlambat penyebaran penyakit kamu, Sayang.”

“Tapi Ka, efek obatnya pasti jauh lebih buruk dari obat-obatan yang selama ini Hanin minum. Hanin takut, Hanin gak mau Ka.”

“Kakak ngerti, De. Tapi Kakak gak tau lagi harus ngelakuin apa, cuma itu satu-satunya yang bisa membantu. Maafin Kakak ya Sayang... Kakak gak bisa ngelakuin apa-apa lagi untuk ngusir penyakit kamu itu. Kakak minta maaf, kalau cara seperti ini malah bikin kamu semakin menderita, De,” kata Ka Hans penuh rasa bersalah.

Mendengar itu, hatiku cukup tertusuk. Tidak ada sedikitpun niat untuk membuat Ka Hans menyalahkan dirinya seperti itu. Mungkin aku yang tidak tau diri, karena tidak bisa menghargai orang yang sudah mati-matian merawat aku sampai bisa bertahan sejauh ini. 

Aku pun langsung memeluk erat Ka Hans dan meminta maaf padanya. Mulai detik ini aku janji, akan menjalankan pengobatan apapun yang Ka Hans dan tante Dewi suruh, karena itu demi kesehatan aku juga.

Beberapa hari pun berlalu, aku jadi semakin sering melakukan serangkaian terapi, fisikku pun semakin hari semakin berubah. Kali ini pengaruh obat cemoterapy membuat berat badanku semakin turun, sering muntah-muntah, bahkan kepala ini sekarang jadi pelontos tanpa ada sehelai rambut pun yang tersisa. Namun demi bertahan untuk Bunda, aku rela menjalankan pengobatan apapun yang disarankan tante Dewi, agar aku tetap bertahan hidup.

Meski efeknya sangat buruk pada tubuhku. Tapi aku harus kuat, selama aku bisa mengenali dan selalu ada di samping orang-orang yang aku sayangi itu tak masalah bagiku. Walaupun ada yang kurang, karena akhir-akhir ini Bunda jarang sekali mendampingiku. Malah ka Sandra dan sahabat-sahabatku yang selalu mendampingiku menjalankan terapi secara bergantian, bahkan ka Sandra pun sama sekali tidak merasa jiji saat aku harus muntah-muntah setiap kali selesai terapi, yang biasanya dilakukan Bunda. 

Tapi aku mengerti, Bunda begini bukan karena Bunda tidak peduli. Tapi Bunda tidak tega melihat kondisiku sekarang. Makanya Bunda menyuruh ka Sandra menggantikan posisinya untuk selalu menemaniku. 

Seperti siang ini, dengan sabar ka Sandra menyuapiku yang sama sekali enggan membuka mulut. Akhir-akhir ini aku semakin tak memiliki selera untuk makan.

“Ayolah De, beberapa suap aja!” bujuk Ka Sandra.

Tak ingin membuat Ka Sandra kecewa, aku pun membuka mulut. Namun aku sama sekali tidak bisa membohongi, saat makanan itu ada di dalam mulutku rasa mual benar-benar muncul begitu hebat. 

Mengetahui aku akan muntah, dengan sigap Ka Sandra langsung mengambil wadah kecil. Dan akhirnya makanan itu gagal masuk ke dalam perutku.

“Hanin bener-bener gak bisa ngerasain apa-apa, Ka.”

“Kakak ngerti, De. Tapi kamu kan harus minum obat, Sayang.”

Aku hanya menggelengkan kepala, dan Ka Sandra pun tak berani memaksa. Ka Sandra pun menyuruhku untuk tidur kembali. Baru saja kepala ini menempel di atas bantal, tiba-tiba rasa sakit itu muncul. Aku mencoba menahannya, agar Ka Sandra tidak panik.

“De, kamu kenapa?” tanya Ka Sandra.

Mungkin ekspresi wajahku saat menahan rasa sakit tadi tidak bisa disembunyikan, dan terlihat oleh Ka Sandra.

Lihat selengkapnya