Sunshine (Ketulusan, Cinta & Pengorbanan)

Widhi ibrahim
Chapter #22

Bab 11 - Part 1

POV Penulis.

Waktu menunjukkan pukul 09:00 pagi. Hanin baru saja bangun dari tidurnya, efek obat membuat waktu tidur Hanin cukup panjang.

"Kenapa situasi kamarnya pagi ini sangat sepi, orang- orang pada kemana?" tanya Hanin pada diri sendiri.

Hanin mencoba bangkit dari posisi tidurnya, dengan badan yang masih lemas ia mencoba untuk duduk. Saat Hanin terduduk, pandangannya tertuju pada pintu kamar yang sedikit terbuka. Samar-samar Hanin mendengar suara, seperti ada orang di balik pintu .

Sementara di depan pintu kamar Hanin, ternyata memang ada Citra dan Deva yang sedang membicarakan sesuatu yang cukup serius. Entah apa yang sudah Citra ucapakan kepada Deva, yang jelas Deva terlihat begitu marah sampai berbicara dengan nada yang cukup membentak.

“Kamu gila ya, Cit! Oke, aku masih bisa ngasih sedikit kepedulian dan perhatian aku. Tapi untuk ngasih seutuhnya... itu gak mungkin, Cit. Gak mungkin!”

“Hanin lebih berhak dari aku. Hanin butuh kamu, cuma kamu yang bisa buat dia bahagia. Jadi mulai detik ini, aku minta kamu lepasin aku!”

Mendengar itu Deva cukup kaget, dia sampai tidak bisa berkata apa-apa. Hanya saja air matanya menetes membasahi pipinya, seperti mewakili perasaannya saat itu.

“Aku yakin kamu bisa ngelakuin ini, Dev! Aku gak mau Hanin sakit hati.”

“Lima tahun, Cit. Lima tahun!” dengan nada sedikit menekan.

“Aku mohon, Dev!”

Deva jadi diam membisu sambil menatap wajah Citra.

Praaakkkk.... 

Terdengar suara benda jatuh yang berasal dari dalam kamar Hanin. Seketika Citra dan Deva langsung menghentikan obrolan mereka dan bergegas masuk ke kamar.

Betapa kagetnya saat mereka melihat Hanin terjatuh di lantai tepat di samping tempat tidurnya, dengan darah yang bercecer dari tangan yang disebabkan selang infusan yang ditarik paksa. Tiang infusan yang kini sudah tergeletak di lantai dan Hanin yang meringis kesakitan, membuat Citra dan Deva panik.

“Hanin...” ujar Citra dan Deva bersamaan sambil menghampiri dengan langkah cepat mereka.

Deva dan Citra terlihat begitu panik. Apalagi tiba-tiba saja Hanin mengeluh sakit dibagian dadanya, dan sulit bernafas. Deva langsung membawa Hanin ke atas tempat tidur, sementara Citra langsung mencari bantuan.

Tidak lama kemudian Citra pun kembali bersama Bunda, ka Sandra, ka Hans, juga tante Dewi. Karena sudah hampir satu minggu ini tante Dewi tinggal di rumah Hanin, agar dapat memantau kondisi Hanin setiap waktu yang semakin memburuk setelah melakukan cemotherapy. Bunda begitu sedih melihat putri kesayangannya seperti itu, yang semakin sulit untuk bernafas, sehingga badan Hanin kejang-kejang. Saat tante Dewi sedang memeriksa keadaan Hanin, tiba-tiba ka Hans menyadari kalau nafas adiknya mendadak berhenti.

“De...” Ka Hans panik. “Tante, nafas Hanin berhenti,” sambung Ka Hans semakin panik.

Secara reflexs tante Dewi langsung memegang nadi Hanin. Sementara Bunda, tangisnya semakin jelas terdengar. Bunda pasti merasa semakin ketakutan akan kondisi Hanin saat itu.

“Sayang, jangan tinggalin Bunda, jangan tinggalin Bunda,” teriak Bunda berkali-kali dengan histeris.

Ka Sandra yang saat itu berada mendampingi Bunda, cukup kewalahan menenangkan Bunda yang menangis histeris.

Merasakan nadi Hanin masih berdenyut, tante Dewi langsung menyuruh ka Hans menyiapkan alat-alat medis untuk secepatnya melakukan pertolongan untuk Hanin. Tante Dewi pun menyuruh ka Sandra untuk membawa Bunda keluar dari kamar. Agar tante Dewi dan ka Hans bisa fokus melakukan tindakan medis untuk menolong Hanin. 

Namun Bunda sama sekali tidak ingin meninggalkan Hanin, dengan bantuan ka Deva dan Citra, Bunda pun mau keluar kamar meski dengan berat hati meninggalkan putrinya yang sedang bertarung nyawa. Untung saja nasib baik masih berpihak pada Hanin, Allah masih memberi Hanin kesempatan untuk kembali bernafas. Meski kejadian tadi cukup membuat kondisi Hanin semakin buruk karena banyak kehilangan darah, bukan hanya itu ternyata sel kanker yang ada di dalam tubuh Hanin pun semakin menyebar, sehingga kondisi Hanin mulai saat itu menjadi kritis. Lebih tepatnya, koma.

***

Setelah kejadian itu, dengan rasa sedih yang masih terasa di dalam hati Citra, karena kini Hanin dinyatakan koma. Citra berjalan cukup cepat keluar dari rumah Hanin. Ternyata sepuluh langkah di belakang Citra, Deva terus mengikuti kemana Citra melangkah sambil memanggil-manggil Citra.

“Cit, aku mohon berhenti, Cit! Citra...”

Tapi Citra terus melangkah tanpa menghiraukan sedikit pun Deva yang terus memanggil-manggil namanya. Sampai Citra tiba di pinggir jalan dan hendak memberhentikan taxi yang kebetulan lewat.

Tak mau Citra pergi, Deva mempercepat langkahnya dan langsung menarik tangan Citra yang akan membuka pintu taxi. Deva malah menyuruh taxinya pergi. Citra semakin marah kepada Deva.

“Kamu apa-apaan sih, Dev?” Dengan kesal Citra melepaskan tangannya dari genggaman tangan Deva.

“Kamu yang apa-apaan. Please jangan egois kaya gini, Cit! Aku gak mau kamu bersikap kaya gini terus sama aku.”

“Kamu gak mau aku kaya gini? Makanya... ngertiin perasaan aku, Dev!” ujar Citra dengan nada sedikit menekan kepada Deva.

Mendengaar Citra bicara seperti itu, Deva malah merasa kesal.

Lihat selengkapnya