Begitu juga saat Citra, Friska dan Ririn menjengukku siang ini. Kulihat wajah mereka yang berseri menyapaku. Nampaknya mereka sedang bahagia.
“Haii, Nin!” ujar mereka bertiga kompakan menyapaku, sambil melempar senyuman untukku.
Tak ada yang bisa aku lakukan, selain menjawab sapaan mereka hanya dengan mengedipkan mata. Karena mulutku sulit untuk bicara. Rasanya rindu sekali bercanda tawa bersama ketiga sahabatku ini. Namun sayang, kondisiku sekarang tidak memungkinkan untuk itu. Tiba-tiba saja air mata ini menetes dari kelopak mataku.
“Hanin... ko lo nangis, sih?” ujar Friska yang pertama melihat air mataku terjatuh.
Entah kenapa mendadak mimik wajah mereka berubah menjadi sendu. Tangan Citra menggenggam tangan kananku, dan Friska juga Ririn berada di sebelah kiri tempat tidurku. Seakan-akan mereka tahu, apa yang sedang aku rasakan saat ini.
“Nin... gue tau ini gak mudah buat lo. Tapi gue yakin lo pasti kuat, Nin!” ujar Citra.
“Lo gak boleh nyerah, Nin... lo harus lawan penyakit lo. Masih banyak hal yang belum sempat kita lalui bersama. Ohh iya, lo masih inget keinginan lo, kan? sebentar lagi musim semi. Lo harus sembuh! kita janji bakal nemenin lo liburan kesana. Bunda lo udah nyiapin itu buat kita, lo harus sembuh, Nin! Kita harus nikmati pergantian musim sama-sama,” kata Ririn.
“Gue yakin lo pasti sembuh, Nin. Ayo kita wujudkan semua mimpi lo jadi nyata! Semangat, Nin... semangat!” ujar Friska sambil meneteskan air mata. Karena dari mereka bertiga, Friska termasuk orang yang cengeng.
Aku ingin sekali menjawab mereka, dan mengatakan, kalau aku sudah tidak kuat, rasanya ingin menyerah saja. Tapi lagi-lagi hanya air mata dari kelopak mataku yang terjatuh, untuk mewakili bibirku yang membisu. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja tangis Friska pecah, dan dia langsung berlari keluar kamar.
“Friska...” ujar Ririn memanggilnya.
Aku tahu apa yang dirasakan Friska, dia pasti kasian melihat kondisiku yang sudah tidak berdaya ini. Tuhan... jika boleh aku minta. Aku tidak ingin lagi melihat lebih banyak air mata orang-orang yang aku sayang terjatuh untuk menangisiku. Jika ingin Kau ambil aku, ambil saja aku sekarang. Agar tidak ada lagi orang yang menangis melihat ketidakberdayaanku ini.
Aku lihat Ririn pergi menyusul Friska, sementara Citra masih setia di sampingku. Namun, aku pun bisa melihat Citra yang mencoba menyembunyikan kesedihan dan air matanya dari hadapanku. Tuhan... jika sudah waktunya aku ikhlas. Tapi aku minta beri aku satu keajaiban untuk bisa menggerakkan tanganku dan berbicara. Ada satu hal yang harus aku sampaikan sebelum aku benar-benar pergi nanti.
Aku coba berusaha keras untuk menggerakkan tangan kananku, rasanya berat dan kaku. Namun aku tidak boleh menyerah begitu saja, aku harus yakin kalau keajaiban itu pasti ada, dan memang ada. Aku terus berusaha menggerakkan tanganku untuk bisa meraih tangan Citra yang berada di dekat tanganku. Dengan susah payah dan adanya sebuah keajaiban, akhirnya aku bisa menggerakkan jariku dan menyentuh tangan Citra. Spontan Citra kaget.
“Hanin...” ujar Citra tersenyum saat mengetahui aku bisa menggerakkan jari tanganku. “Jari lo gerak, Nin... lo bisa pegang tangan gue. Gue panggil ka Hans, ya.” Citra beranjak dari duduknya.
Namun dia tidak berhasil pergi karena tanganku ini meraih lalu menggenggam tangannya, sebagai isarat Citra tidak boleh pergi. Citra pun memandang wajahku, sambil berkata.
“Gue gak bakal ninggalin lo, ko. Gue cuma pengen ngasih tau semua tentang keadaan lo sekarang. Mereka pasti seneng banget,” ujar Citra sambil beranjak.
Namun baru saja beberapa langkah menjauhiku, tiba-tiba saja langkah Citra terhenti saat mendengar aku batuk-batuk. Spontan Citra menoleh ke arahku, Citra terlihat kaget dan bergegas balik menghampiriku.
“Astagfirullah... lo apa-apaan sih, Nin!” bentak Citra.