Sunshine (Ketulusan, Cinta & Pengorbanan)

Widhi ibrahim
Chapter #25

Part 3

Setelah mendapatkan izin dari Bunda, ka Hans dan tante Dewi. Akhirnya Citra berhasil membawaku ke pantai, untuk memenuhi keinginanku melihat matahari tenggelam. Karena selama ini aku hanya bisa melihat proses matahari terbit, itu pun dari balkon kamarku saja.

Setibanya di pantai, sebelum keluar dari mobil, ka Hans melepas dulu infusan yang masih menempel di punggung tangan kiriku. Lalu menutupnya dengan perban dan sedikit perekat. Namun alat pernafasanku yang sudah rusak, membuatku tidak boleh melepaskan selang oksigen di hidungku. Setelah itu, aku meminta Citra dan ka Deva membawaku ke pinggir pantai. Namun, tiba-tiba aku melihat Bunda menangis. Lalu, aku tersenyum dan menghapus air mata di pipi Bunda.

“Hanin pasti baik-baik aja, Bun...” kataku meyakinkan Bunda.

Bunda sama sekali tidak mengucapkan satu patah kata pun, aku hanya melihat air mata yang terus mengalir membasahi pipi Bunda. Aku mengerti akan rasa takut dan ke-khawatiran Bunda kepadaku saat ini. Namun, aku tidak mungkin melewatkan kesempatan ini. Karena ada sesuatu hal yang lebih penting dari sekedar melihat matahari tenggelam, yang harus aku selesaikan sebelum aku pergi. 

Sebelum aku keluar dari mobil, entah kenapa aku ingin sekali menatap wajah Bunda cukup lama, lewat pandangan mataku yang mulai buram. Mungkin perlahan aku akan mulai kehilangan penglihatanku, namun kumohon Tuhan, jangan dulu kau ambil kemampuanku untuk berbicara. Masih ada yang harus aku sampaikan sebelum semuanya terlambat. Setelah cukup lama menatap wajah Bunda, aku langsung mencium tangan Bunda. Cukup lama kucium tangan Bunda, lalu kulanjutkan mencium kening Bunda, dan setelah itu aku peluk erat Bunda sambil mengatakan.

“Hanin sayang banget sama Bunda. Terimakasih sudah menjadi Bunda terhebat untuk Hanin.”

Bunda sudah tidak bisa menahan lagi kesedihannya, Ka Sandra yang saat itu ada di samping Bunda mencoba menenangkan Bunda.

“Jagain Bunda ya, Ka!”

Ka Sandra menganggukkan kepalanya sambil menahan tangis.

Aku berusaha melemparkan senyuman kepada Bunda dan Ka Sandra. Lalu, aku meminta Ka Deva membawaku yang sudah tidak sanggup berjalan untuk pergi ke pinggir pantai, bersama Citra yang memegang tabung oksigen kecil yang harus aku gunakan.

Sementara Bunda, Ka Hans, Ka Sandra, Friska dan Ririn yang ikut juga, hanya melihat aku dari kejauhan.

Aku, Citra dan Ka Deva pun duduk di atas pasir pantai dengan ombak di laut yang cukup besar, sehingga membuat angin berhembus cukup kencang. Ka Deva membuka jaket yang ia kenakan, lalu menyelimuti kakiku agar tidak kedinginan.

Suasana masih hening, hanya gemuruh suara ombak dan deru angin yang terdengar. Tapi aku merasa ada isyarat antara Ka Deva dengan Citra, seperti ingin menyampaikan sesuatu namun penuh keraguan.

“Ka Deva... apa Kakak bener-bener mencintai aku?” tanyaku kepada Ka Deva, sekaligus memecah keheningan.

Tapi Ka Deva malah diam, pandangannya malah tertuju ke arah Citra.

Aku pun tersenyum melihat itu. Tangan kiriku meraih tangan Citra, dan tangan kananku meraih tangan Ka Deva. Lalu, ku satukan tangan mereka di hadapanku. Tapi mereka hanya bengong.

Lihat selengkapnya