POV Penulis.
Lagi-lagi Hanin harus terbaring koma di tempat tidur, dengan berbagai alat medis yang menghiasi tubuhnya. 24 jam sudah berlalu, namun kondisi Hanin sampai saat ini belum menunjukkan perubahan. Malah detak jantung Hanin pun semakin melemah.
Kali ini di kamar Hanin begitu ramai, ada Bunda, ka Hans, ka Sandra, tante dewi, Citra, ka Deva, Friska dan Ririn. Mereka sangat menunggu saat Hanin membuka mata kembali. Namun sayang, semua malah kebalikannya. Tiba-tiba saja nafas Hanin tidak stabil, irama jantung yang tertera di layar monitor pun angkanya semakin menurun.
Tante Dewi baru saja selasai memeriksa kondisi Hanin, namun mimik wajah yang Tante Dewi perlihatkan begitu tidak enak.
“Gimana Hanin, Tan?” tanya Ka Hans dengan nada yang cukup pelan.
Tante Dewi diam, seakan-akan berat untuk berkata. Ia malah menggelengkan kepala dan mencoba menenangkan Ka Hans. Semua upaya sudah dilakukan, namun kali ini secara medis sudah tidak ada lagi harapan untuk Hanin.
“Ikhlasin Hanin, Hans...” ujar Tante Dewi berhenti, seakan-akan tak bisa lagi melanjutkan perkataannya.
Mendengar itu Ka Hans langsung meneteskan air mata. Ka Hans mencoba menguatkan hatinya yang mendadak rapuh, setelah mendengar kondisi terakhir Hanin, yang sudah tidak ada harapan lagi.
Ka Hans pun berjalan menuju tempat tidur Hanin, dan diam tepat di kepala bagian kiri Hanin. Sambil tersenyum Hans memandang wajah Hanin.
Sementara Bunda yang sedari tadi menangis, sambil memegang tangan sebelah kanan Hanin. Dan di sebelah kiri ada Ka Sandra, yang berdiri dengan pandangan yang tak lepas memandang Hanin.
“De... hari ini kamu cantik banget, Sayang. Kakak bangga punya adik yang tangguh dan hebat kaya kamu. Kamu udah bisa berjuang melawan penyakit kamu sampe sejauh ini. Tapi kalau sekarang kamu cape, kamu boleh berhenti. Kalau mau pergi, pergi aja! Kakak ikhlas, De. Kakak ikhlas, ikhlas Sayang.”
Mendengar Ka Hans berkata seperti itu, semua mata tertuju pada Hanin. Ketiga sahabatnya dan Deva yang tadinya berada cukup jauh dari tempat tidur Hanin pun, langsung mendekat ke tempat tidur Hanin.
Sementara Bunda terlihat begitu marah atas ucapan Ka Hans barusan.
“Maksud kamu apa, Hans? Bunda gak suka kamu bicara seperti itu! Hanin pasti sembuh! Hanin gak akan ninggalin kita!”
Ka Hans tidak berkata apa-apa. Namun, Ka Sandra mengerti akan maksud Ka Hans. Dengan memegang tangan kiri Hanin yang mulai terasa dingin, Ka Sandra berkata.
“Kakak masih pengen ngabisin waktu lebih lama lagi sama kamu. Tapi Kakak gak mau kalau kamu harus tersiksa kaya gini. Kakak ikhlas ko kalau kamu mau pulang, De... Kakak ikhlas.”
Bunda semakin tidak mengerti dengan ucapan Ka Hans dan Ka Sandra.
“Kalian gak boleh ngomong kaya gitu!” bentak Bunda.
Dengan air mata yang terus menetes Bunda membelai kepala Hanin, menciumi tangan Hanin, dan menatap wajah Hanin dengan penuh kasih sayang sambil terus meyakinkan dirinya, bahwa anak kesayangannya ini pasti akan sembuh.
“Kamu gak akan kemana-mana kan, Sayang? Kamu gak akan pernah tinggalin Bunda, iya kan, Sayang? ... Kamu harus bangun, buktiin ke mereka kalau kamu kuat Sayang. Ayo bangun! Bunda mohon bangun, Sayang! Bangun... ” ujar Bunda sambil menggoyang-goyangkan badan Hanin, berharap Hanin akan bangun. Namun kenyataannya Hanin sama sekali tidak bisa meresponnya.
“Bun... ikhlas, Bun. Ikhlas...” pinta Ka Hans.
Karena Ka Hans merasa, kini Hanin hanya menunggu orang-orang yang ia sayangi untuk bisa mengikhlaskan kepergiannya.
Semua menangis sambil melihat ke arah Hanin, begitu pula dengan Bunda yang masih optimis, bahwa Hanin masih ada harapan untuk sembuh.