Penafian: Terinspirasi dari kisah nyata mengenai tragedi dan dampak traumatis terhadap para perempuan yang diperkosa dan dianggap aib, hingga dalam kasus ekstrem dianjurkan membunuh dirinya sendiri, yang terangkum dalam 'Tragedi Mei 1998 dalam Perjalanan Bangsa Disangkal!' publikasi Komnas Perempuan tahun 2003 dan dalam buku 'Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan' karya Dewi Anggraeni.
Selebihnya, hanya karangan fiksi.
*
Kabar itu tersebar seperti angin yang bertiup dari barat ke timur. Tidak ada yang mampu menangkap, apalagi mencegah kepergian kabar itu sampai ke lebih banyak lagi telinga. Satu per satu warga hilang tanpa jejak. Kehilangan yang ditutup-tutupi sebetulnya, tetapi pekatnya aroma bangkai begitu hebat. Itu bisa bertahan berhari-hari sampai berminggu-minggu di kulit manusia. Segala cara menutupinya pun percuma. Terlalu pekat. Terlalu kuat. Lapisan pun dipertebal demi mencegah aroma yang menguar ke luar. Namun, meski halus dan samar, aroma itu tetap tercium dan membuat bibir gatal membicarakan.
Tidak ada yang tahu siapa yang pertama kali menyebarkan sulur-sulur kecurigaan, tetapi orang-orang senang dengan permainan tebak-tebakan. Sudah mendarah daging. Sejak 3500 tahun sebelum masehi ditemukan lukisan keramik bergambar seseorang melempar tulang kecil di bawah tumit domba atau anjing yang keempat sisinya memiliki bagian yang tidak rata. Itu diduga sebagai awal mula permainan judi. Di wilayah Asia pun banyak terdengar kisah-kisah perjudian yang taruhannya berupa kaum wanita baik bagian dari tubuh atau jiwanya. Tinggal dalam ketidaktahuan dan bergantung pada keberuntungan memang adiksi yang memabukkan.
Semakin banyak orang yang membicarakan dan berharap tebakannya menjadi benar. Kabar yang semakin lama semakin terdengar seperti mitos mencuri perhatian dan mendapat tempatnya di hati masyarakat. Orang-orang kadang memanggilnya malaikat. Ada pula yang menyebutnya penyelamat. Apa pun itu dia adalah seseorang yang bisa mencabut penderitaan tanpa rasa sakit. Tidak ada suara. Tidak ada luka. Bahkan tidak ada jejak. Siapa pun yang bertemu dengannya dialah yang beruntung.
Kedatangannya seperti harapan. Seperti sebuah pilihan manis di antara takdir tragis.
Banyak versi cerita yang bisa didengar. Entah sudah berapa kali cerita itu mengalami penggubahan. Tidak pernah ada sosok pasti sebagai karakter utama atau sang penyelamat. Itu terus berubah oleh pengetahuan dan kreativitas masyarakat.
Ada yang menyatakan sosok itu berbadan besar seperti dewa. Banyak kerincing yang digunakan. Pakaiannya megah berlapis emas. Rambutnya meruncing segitiga ke atas dan bermahkota di jidat. Seseorang yang tidak memiliki harapan diceritakan mendekati sang dewa dan dipeluknya erat-erat. Seluruh tanah bergetar dan di sekeliling mereka bercahaya teramat terang. Orang itu pun terkulai di lengan sang dewa. Tertidur nyenyak, terlalu nyenyak, sampai jantungnya enggan lagi memompa darah. Sang dewa pun mengakhiri penderitaan sang lelaki dengan mengasah gigi, membuka mulut lebar-lebar dan menyimpannya ke dalam tempat yang tidak mungkin ditemukan orang-orang. Setidaknya, dia telah menjadi lezat di akhir hayat ketika segala kepahitan merubung jiwanya.
Ada pula kisah lain yang menyatakan sosok penghapus penderitaan itu berwujud manusia biasa. Dia datang dan berkumpul dengan banyak orang. Dia makan nasi dan minum air putih seperti normalnya manusia. Namun, dia memiliki mata yang bisa melihat kesusahan orang. Orang-orang yang memiliki masa depan berantakan dia selamatkan dengan cara yang lembut. Dia ajak seseorang itu ke tepi dan mulai menyanyikannya sebuah lagu. Lagu itulah magis yang membuatnya nyaman tertidur. Tidur panjang sampai tidak ada lagi masalah yang menakutkan lagi baginya. Tidur dan menghilang menyatu dengan tanah. Kembali ke rumah.
Setiap warga yang menghilang atau dicurigai hilang sudahlah pasti masuk ke tanah. Hanya itu satu-satunya cara bangkai tidak tercium.
Ada pula yang bercerita dari sudut pandang yang lebih masuk akal. Dia menjamin ceritanya adalah kebenaran. Teracung-acung dua jarinya tanda sumpah selama dia bercerita.
"Saya lihat sendiri! Sumpah, Demi Tuhan! Dia itu manusia biasa sama seperti kita, tapi tidak setara. Dia berjubah dan bertudung hitam. Mulutnya pandai sekali bicara. Dia itu bikin orang yang ingin dia habisi nyaman dan rela untuk mati. Dia menyebut dirinya penyelamat. Bagi saya, dia Rama Agung. Sosok suci! Dia tahu siapa saja yang patut mati sebelum penderitaan yang dia alami semakin besar!"