Suntik Hidup

Ana Latifa
Chapter #2

1. Prataya, Bulan, dan Perubahan

Semanggi, 21 Mei 1998

Prataya tidak pernah mengenakan jubah kuningnya lagi. Itu sudah terlalu kuning untuk veteran kampus sepertinya.

Dia lebih senang mengembara dari kepala ke kepala, mencatat kata-kata yang terlontar, merekam segala jenis perubahan dan bagaimana dunia bekerja melahirkan beragam kebudayaan. Itu sebabnya dosennya membiarkan. Tidak protes pada mahasiswanya yang bebal sampai tiga tahun kemudian tidak ada juga judul skripsi yang diajukan. Mereka berang. Prataya tahu. Tapi, tidak peduli.

Pernah sekali waktu Prataya memunculkan muka dengan girang. Namun, dia digampar dosen karena keterlaluan bebal.

"Jangan bantah! Cepat ganti judulmu kalau tidak ingin kena masalah!"

Pipi Prataya berdenyut hebat. Proposal skripsinya dirobek tepat di depan mata. Namun, bukan itu yang membuat matanya pedih seakan ditiup debu panas, tetapi kenyataan bahwa ... zaman belum berubah.

Prataya bangkit menatap dosen yang tingginya hanya sebatas dada. Dia tersenyum sopan.

"Saya akan kembali lagi, Pak."

Dosen itu memperbaiki lengan kemejanya. Kancingnya copot akibat pukulan ke muka mahasiswanya.

"Saya tunggu judul barumu minggu depan."

Prataya tersenyum. "Kalau zaman bisa berubah secepat itu, saya bersyukur."

Senyum Prataya luntur. Wajahnya berubah datar. Dosennya menyadari ada sesuatu yang keliru. Dia berusaha mengejar Prataya yang berjalan cepat keluar ruang dekan.

"Hei, apa maksud kamu, Prataya?"

Prataya sudah tiba di ujung lorong. Dia berbalik. "Bukankah sudah menjadi perannya mahasiswa sebagai agent of change yang perlu pandangan kritis terhadap bangsa?"

Dosen pembimbingnya diam, menatap keras.

"Ini jalan yang saya pilih, Pak. Saya nggak pernah seserius ini. Tolong, jangan halangi jalan saya."

Mata pria akhir lima puluhan itu melebar total. "Jangan main-main, Prataya!"

Kejadian itu terjadi tepat setahun yang lalu. Namun, tamparan Pak Dosen masih terasa perih acapkali Prataya mengingatnya.

"Hai, Bang Sukses!" Prataya menyalami pria beruban yang mengingatkannya pada Pak Dosen. Dia muncul dari dapur dengan celemek hitam yang nyaris berubah putih. Tampaknya resep mi buatannya gagal lagi.

"Hei, Prat! Kamu nggak ikut turun ke jalan?"

Prataya menggeleng. Sejak hari pertama mahasiswa dikumpulkan di gedung DPR, Prataya tidak pernah menginjakkan kaki ke sana. Bukan tidak tahu dan tidak nasionalis. Prataya hanya lebih senang ongkang-ongkang kaki di dalam gedung, memantau dan menggerakkan massa dengan ujung jari. Dia benci membuat kulit matangnya semakin matang. Prataya sering dikatai banci, dia lalu berkilah, "Saya ini orang seni."

Di waktu yang lain keaktifan Prataya di organisasi juga jadi bahan perbincangan.

"Jadi manusia itu ambis sedikit, lah, Bang. Abang itu berprestasi buktinya bisa masuk sini. Manusia itu baru bisa disebut hidup kalau sudah punya ambisi!" kata adik tingkatnya. "Karena Abang nggak punya itu kali makanya skripsi Abang kagak kelar-kelar juga."

Ambisi?

Apa itu berbentuk pukulan rotan, sabetan sabuk hingga berdarah, atau kata-kata binatang yang meluncur indah dari mulut Bapak?

Kalau bukan itu semua berarti Prataya memang dibesarkan tanpa ambisi.

Prataya selalu ditekan supaya memiliki nilai bagus di setiap ujian sampai bisa menembus PTN favorit. Bagi Bapak, itu adalah keberhasilan mendidik. Bagi Prataya, itu adalah satu-satunya jalan keluar untuk kabur. Mungkin itu sebab Prataya malas untuk menyelesaikan kuliah meskipun Bapak sudah jatuh sakit dan tidak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya makan, minum, menggumam, dan merepotkan. Namun, anak kecil di dalam diri Prataya tetap ketakutan. Bagaimana kalau dia pulang, lalu Bapak sembuh dan bangun? Bagaimana kalau Bapak membunuhnya karena Prataya telah membuat malu sampai mendapat julukan veteran kampus karena empat belas semester belum lulus?

Mungkin, itu alasan sebenarnya Prataya tidak juga berminat merampungkan pendidikan strata 1.

Namun, meskipun Prataya belum pernah terjun langsung, dia selalu tahu informasi terbaru soal demonstrasi. Dia tetap berjuang dalam bentuk usaha yang berbeda.

Melalui laptop IBM Thinkpad pemberian Bapak dari hasil jual tanah warisan, Prataya bisa menjangkau sisi lain dunia.

"Demo sudah mau beres, Bang. Bentar lagi, Pak Harto mundur!"

"Beneran, Prat?"

Prataya mengangguk semangat.

"Tahu dari mana, kamu?"

Aksi reformasi tidak pernah hanya bergerak melalui jalur darat, tetapi melalui jaringan lunak yang mampu menggerakkan jiwa-jiwa pemikir dan peminat yang sama di milis1. Prataya mendapat nama grup Apakabar dari teman sekampus dan dadanya ikut bergejolak melihat forum yang menggunakan layanan Yahoo Mail dipenuhi seruan pembakar semangat dan kata-kata yang tidak mungkin disuarakan lewat mulut. Gantung Presiden! Rezim Diktator! Lawan!

Di halaman conversation, Prataya tahu bahwa dua hari yang lalu sudah diadakan sidang paripurna untuk membicarakan pemunduran presiden Soeharto. Sebentar lagi. Sesaat lagi, reformasi dan kebebasan pers akan bisa segera dipeluk.

"Zaman sudah canggih, Bang," balas Prataya.

Dia pun menyeduh es kopi dan menguyah kentang goreng di kedai kafe milik Bang Sukses. Bukan nama asli. Dia hanya berharap namanya jadi doa agar bisa sukses kembali.

Bang Sukses adalah seorang chef hotel bintang lima yang dipaksa turun gunung menjajakan dagangan dengan harga kaki lima. Tidak ada lagi gengsi. Gengsi tidak bisa menahan nyawa dari mati kelaparan.

Dia bangun kedai kafe bertajuk ReFOODmasi. Sebuah kafe di kawasan Semanggi yang lahir karena impitan ekonomi.

Pada akhir Januari 1998, kebangkrutan tidak bisa ditahan ketika dolar mengamuk sampai angka 16,000 ketika tahun sebelumnya hanya menyentuh sekitar 5500. Pengusaha tumbang. Pebisnis gulung tikar. Batas kelas atas dan bawah runtuh secara brutal. Pemecatan karyawan menyebar rata. Jabatan tidak lagi berarti mempertahankan nama. Semua orang turun kantor, menyebar di rumah-rumah dan pinggir jalan. Berharap keahlian dapat jadi secercah cahaya demi masa depan lebih baik.

Krisis ekonomi menghantam keras kalangan atas, sementara Prataya yang berada sedikit lebih tinggi dari kalangan bawah, tetap terciprat kesulitan meski tidak sampai bonyok. Dia sangat menikmati kafe tenda yang menjamur di kawasan Semanggi. Mencicipi steak harga murah rasa mewah bukan lagi sekadar harapan.

Menu makanan yang tersedia pun seperti pro aksi reformasi. Nasi goreng dibubuhi nama Nasi Goreng Demonstran atau steak daging yang diberi nama Steak Bakar Rezim. Keputusasaan dan kekecewaan terpancar pekat dari pilihan nama menu dan nama kafe.

Para pendiri kafe mungkin sudah mencium aroma kejatuhan. Pilar-pilar petinggi sudah goyah lebih daripada kencang. Tidak perlu lagi takut kepala berlubang atau hilang tanpa jejak. Terlalu banyak peluru yang harus dibuang. Setiap kepala di bawah kaki petinggi seakan sudah satu suara.

"Wih, canggih bener. Sudah masuk berita, nih!" seru Bang Sukses menghadap televisi di pojok kafe.

Kafe tenda Bang Sukses dibangun di rumah biasa dengan teras khas hijau putih. Di dalamnya terdapat bar mini dan kursi-kursi bergaya vintage. Prataya paling senang duduk di pojok yang bersilangan dengan televisi. Dia tidak punya televisi di kamar kos.

Prataya hendak menyuapi mulutnya dengan kentang ketika Bang Sukses menepuk-nepuk mejanya heboh. 

"Prataya! Lihat, Prat!"

Lihat selengkapnya