Prataya merasa memerlukan tulang rusuk baru. Itu mengeras seperti batu sewaktu dia tiba di stasiun Yogyakarta. Dia masih harus lagi menaiki kendaraan umum untuk sampai di rumah tempatnya lahir dan tumbuh, tepatnya di gang Brojolamatan, Mrican.
"Asalamualaikum, Buk! Taya pulang!"
Ibuk dan adik perempuannya berhenti bergerak sesaat dari kegiatannya masing-masing. Penampakkan Prataya di rumahnya sendiri sepertinya lebih mengerikan daripada kemunculan Mbah Atin2.
Ibuk nyaris menghancurkan pot bunga di pekarangan karena menjatuhkan itu tiba-tiba, sementara adiknya yang akan naik tingkat ke masa kuliah langsung meninggalkan tugas sekolah di ruang tamu, berlari mendatangi Prataya dan mencubitinya, meyakinkan diri bahwa Prataya benar-benar manusia.
"Duh, sakit, Dek!" Prataya menangkap dua tangan Rahma, memiting leher adiknya.
"Ah, Mas bau wedhus3!"
"Heh, ngomong apa kamu?!"
Rahma tertawa-tawa.
Ibuk mendekat. "Akhirnya kamu pulang, Mas! Betah banget kamu ini di Jakarta."
Prataya terkejut. Pantatnya berdenyut-denyut. Ibuknya tidak berubah. Dia selalu menepuk pantat Prataya seolah Prataya masih bocah yang senang mengompol di celana.
"Aku bakal menetap di sini dulu, Buk. Takut terjadi sesuatu."
"Eh, sesuatu kayak gimana, to?"
Prataya tidak bicara banyak. Ibuk dan adiknya tidak perlu tahu apa yang akan terjadi. Yang terpenting dia ada di sini.
Bapak dan Ibuk menikah beda tujuh belas tahun. Prataya harus pasang badan menjaga keluarga karena Bapak sudah renta dan bertambah renta karena terkena strok sehingga hanya bisa tidur di kamar. Meskipun begitu, Bapak tetap berpenghasilan. Uang pensiunan masuk kantong Ibuk tiap bulan.
Namun, Prataya masih merasakan ketidaknyamanan meski sebatas melewati kamar Bapak. Dia tidak berani menyalaminya.
Demonstrasi besar-besaran sudah di depan mata. Potensi terjadinya kerusuhan jadi hal utama yang paling dia khawatirkan.
Sembari memejam di kamar lamanya, Prataya menyusun banyak kegiatan di kepala. Besok, dia akan memantau pergerakan mahasiswa secara langsung.
*
Pagi-pagi sekali, Prataya berangkat mengenakan jaket dan celana jins.
"Mau ke mana, Mas? Baru juga sampai."
"Mau ketemu teman sekolah, Buk!"
Itu tidak sepenuhnya benar. Karena Prataya sudah tidak ingat lagi dengan siapa saja dia pernah berteman di Yogyakarta. Namun, Prataya akan mencari teman baru.
Di kawasan UGM, Prataya mencari-cari sekelompok mahasiswa. Namun, yang ditemukan hanya mahasiswa kupu-kupu4. Melihat damainya suasana kampus, gejolak yang sebenarnya pasti terjadi di bawah tanah—entah di sudut kota bagian mana. Karena kemungkinan besar, UGM telah dikepung intel.
Sejak tahun lalu, Prataya sudah banyak dengar cerita dari penghuni grup Apakabar bahwa banyak perkumpulan yang dibubarkan aparat. Melihat kondisi lapangan begitu represif, Prataya yakin teman-temannya sadar inilah saatnya untuk terang-terangan keluar.
Selama menaiki bus untuk pulang, Prataya melihat banyak grafiti di tembok-tembok, bahkan kantung-kantung kursi bus berisi selebaran yang menyuarakan banyak isu senada.
"Adili Soeharto!"
"Turunkan Harga Sembako!"
"Bersatu Sehati Menuntut Reformasi."
Di beberapa titik pasar, dia melihat antrian beras yang mengular. Pantas Ibuk tidak kelihatan semangat untuk memasak. Sejak awal Januari, semua orang memang dipaksa harus berhemat.
Di salah satu selebaran itu, Prataya menemukan seruan aksi untuk mahasiswa dan masyarakat di bundaran UGM.
Sesuai tanggal yang tertera, Prataya datang hanya untuk pulang. Dia kedapatan mengobrol sebentar dengan beberapa mahasiswa, tetapi gerakan mahasiswa terlihat sangat terbatas. Mereka diminta bubar dengan cepat.
Tak lama setelah itu, demonstrasi dikabarkan pindah ke simpang tiga IAIN5 dan berakhir dikumpulkan di Jalan Gejayan6. Inilah yang paling Prataya takutkan. Lokasi itu sangat dekat dengan tempat tinggal Prataya. Dari beberapa kali pertemuannya dengan mahasiswa, Prataya mulai paham arti tiang listrik yang diketuk berulang kali adalah alat komunikasi untuk memanggil mahasiswa.
Ketukan tiang listrik terdengar. Agak lama. Kerumunan memadati Jalan Gejayan.
Pergerakan itu tercium lagi dengan mudah, polisi ditumpahkan ke jalan mengepung demonstran. Prataya bolak-balik mengecek dan kembali ke rumah. Memastikan Ibuk dan adiknya tetap aman.
"Kamu mau beli apa?" Prataya melompat keluar dari ranjang, melihat adiknya menggulung-gulung selembar uang.
"Mau ke warung, Mas. Beli mi."
"Sudah, sama Mas saja. Nggak ada yang tahu demo itu bakal sampai sini atau nggak. Jangan keluar rumah." Rahma mengangguk patuh.
Prataya keluar rumah. Dia juga agak penasaran dengan kondisi demonstrasi. Dia harus bergerak agak jauh dari warung langganan yang tutup. Dia perlu melewati Jalan Gejayan yang masih ramai meski matahari sudah tenggelam.
Malam itu, beragam orasi diteriakkan dengan damai, Prataya jamin demonstrasi berlangsung aman meski ada aksi pembakaran barang di tengah-tengah jalan.
Prataya berjalan cepat menyusuri tepi jalan tanpa mi yang berhasil dia dapat. Seharusnya, dia memarahi Rahma yang bisa-bisanya malah ingin makan mi saat suasana sedang bergejolak atau mungkin dirinya sendiri yang bisa-bisanya menganggap sepele memasuki kawasan demonstrasi.
Prataya harus pulang.
"Awas!"
Tubuh Prataya ditubruk. Lelaki itu jatuh tersungkur. Banyak kaki-kaki panik melewatinya. Prataya berusaha bangkit, tetapi terjatuh lagi karena tertabrak seseorang.
Dari belakang, terdengar suara deburan air sangat kencang. Punggung Prataya terguyur, tersentak, dan terdorong maju akibat semprotan yang dia kenali sebagai water gun.
Sejak kapan mobil polisi itu datang?
"Eh, Mas! Ayo, bangun!"
Lengan Prataya ditarik laki-laki. Prataya pun ikut berlari dan ditarik untuk sembunyi di teras ruko kosong.
"Mas, baik-baik, kan?" tanya mahasiswa berjas kusut.
Prataya mengangguk. "Ada apa tadi, Mas?"
"Nggak tahu, Mas. Aparat tiba-tiba datang bawa water gun!"
"Ada yang provokasi?" tanya Prataya.
Laki-laki itu menggeleng tidak tahu.
Kendaraan water gun itu berpratoli. Beberapa mahasiswa tampak tidak terima, mereka berteriak dan mulai melempari kendaraan besar itu dengan batu dan petasan.
Prataya harus segera pulang. Dia beranjak. Namun, tangannya dicegat laki-laki berambut gondrong yang diikat itu. "Eh, mau ke mana, Mas? Bahaya!"
"Lebih bahaya diam di sini!" cetus Prataya.
Dia pun keluar dan berusaha menjauhi kendaraan yang masih menembakkan air dengan gerakan memutar.