Suntik Hidup

Ana Latifa
Chapter #4

3. Reformasi yang Tak Retak

Kekeluan hinggap dan menetap di sekujur tubuh Prataya. Dia kesulitan bangun dari kafe. Pantatnya seolah rekat dengan kursi dan dia membayangkan waktu berputar tanpa henti. Terus melaju dan melaju, tanpa dirinya.

Kegembiraan menyambut reformasi menyusut sampai lenyap karena ingatannya tentang Bulan.

Perasaan bersalah kini bersarang di hatinya melihat gerombolan mahasiswa bersorak sorai atas pelengseran Soeharto. Sebuah penantian yang panjang setelah kerajaannya bertahta selama 32 tahun tanpa ada satu pun kekuatan yang bisa menggoyahkan. Mereka membawa bendera merah putih menyanyikan lagu Indonesia Raya, beberapa yang mengekor berteriak, "Merdeka! Merdeka!"

Prataya menyaksikan itu dari balik kaca. Dia membayangkan seharusnya dia sedang berada di sana, mengikat dahi dengan slayer merah putih seakan warna kulit, mata besar, struktur wajah tegas, dan suara lantang, masih kurang menunjukkan ke-Indonesia-an. Dia akan berteriak dan bersuka cita. Perjuangan telah menjumpai akhir sekaligus awalnya.

Sebagai aktivis pro-reformasi yang bergerak di balik layar-melalui internet, dia gembira. Dalam hatinya ingin menangis haru atas perjuangan teman sejawat yang tidak sedikit mempertaruhkan nyawa. Namun, apa yang Ozil katakan menenggelamkan perasaan Prataya. Di sudut hatinya yang lain, dia berduka.

Maaf, kawan. Bukannya aku tidak setia. Tapi, mengusir diskriminasi dan rasialisme yang menjadi bibit banyak perpecahan adalah jalan perjuangan yang kupilih demi mewujudkan reformasi yang tak retak.

"Kabarnya masih simpang-siur. Aku juga nggak yakin ini benar atau cuma rumor. Tapi, kata sekelompok relawan, selama kerusuhan telah terjadi kasus pemerkosaan massal. Dan target utamanya adalah keturunan Tionghoa." Ozil bercerita. Sorot matanya serius. Terlalu serius untuk dia yang senang bercanda.

"Apa? Jangan bercanda, Bang!"

"Mana pernah aku main-main sama kamu, Prat! Kalau kamu berharap itu mitos, ya, silakan. Aku juga berharap hal yang sama."

Bulan. Satu nama itu menggedor-gedor tempurung kepala Prataya. Seluruh jaringan ototnya kompak menegang. Kekhawatiran Prataya melebihi puncak yang bisa dia tampung. Dan menyadari tidak ada yang bisa Prataya lakukan untuk menemukannya, atau sekadar menjumpai rambut sehalus sutra, atau menciumi aroma wewangian oriental dari tubuhnya, membuat Prataya semakin terimpit. Dinding-dinding kafe seperti menekannya tanpa ampun.

Satu-satunya alat komunikasi yang biasa mereka gunakan hanyalah telepon umum. Itu pun Prataya hanya boleh menghubungi Bulan selama jam jaga toko berlangsung. Prataya sampai hapal nomor telepon toko kain milik Bulan.

Prataya sering menggunakan kurangnya bahan skripsi sebagai alasan meminta Bulan menemuinya lalu mereka pun akan bertemu di bawah Jembatan Harco. Alasan yang tercium pekat sebagai sebuah modus pendekatan karena setelah mata bertemu mata, Prataya jarang sekali menyinggung soal skripsinya.

Setelah saling sapa, mereka akan langsung berjalan melewati toko-toko elektronik dan akan mampir ke sebuah toko kaset CD bajakan. Seluruh dinding toko tampak seperti berlapis kaset. Raknya menggapai langit-langit. Di bagian tengah dihiasi tiga rak tegak setinggi perut orang dewasa yang juga dipenuhi CD. Prataya dan Bulan selalu senang melihat film-film keluaran terbaru yang cepat sekali muncul di sana meskipun pada akhirnya mereka akan keluar dengan tangan kosong.

"Aku lebih tenang menonton di bioskop saja," kata Prataya.

"Karena membeli kaset bajakan akan membuat integritasmu merosot?"

"Mungkin. Kalau aku bisa menjaganya dari hal-hal yang kecil, aku akan bisa menjaganya untuk hal-hal yang besar. Jadi, kapan?"

"Ha?"

"Ke bioskop."

Bulan tertawa renyah. "Nanti saja, kecuali ada tontonan bagus untuk penulisan skripsimu. Jadi, apa yang ingin kamu bahas?"

"Gimana kalau makanan kesukaanmu di Pecinan? Aku rasa itu akan menambah cita rasa skripsiku biar semakin lezat."

Bulan akan menampakkan wajah itu. Dia selalu menampakkannya ketika Prataya mulai bicara melantur. Tepi mata Bulan yang runcing akan terlihat menukik bersamaan dengan sudut bibirnya yang bergerak naik. Dia mencium aroma modus, tetapi selalu tidak mempermasalahkan. Prataya yakin dia tidak berlebihan kalau merasa Bulan telah membuka gerbang pendekatan.

Lihat selengkapnya