"Kamu cepat belajar ternyata. Kalau begini, Kakak bakal cepat diputus kerja sama orang tuamu."
Sambil membereskan buku dan alat tulisnya sendiri, Prataya membantu Dimas membereskan peralatan belajarnya.
Prataya sudah tidak minta uang bulanan pada Ibuk semenjak dia tahu lulus kuliahnya akan terlambat. Ibuk tidak senang, tetapi Prataya keras kepala. Ini keputusannya untuk menunda-nunda penyelesaian skripsi. Prataya harus mulai memikirkan tanggung jawab pada dirinya sendiri.
Prataya juga tidak ingin menjadi kasir atau penjaga toko. Jadi pekerja magang di perusahaan saja dia tidak berkenan. Prataya menyukai kebebasan. Dia tidak suka dikekang berbagai aturan. Oleh karena itu, dia mencoba menawarkan jasa mengajar privat kepada orang tua di masjid-masjid dan selama dua tahun terakhir dia sudah mengajar lebih daripada empat belas anak. Semuanya anak SD kelas satu atau dua yang dikhawatirkan orang tuanya akan terlambat membaca dan menulis. Prataya hanya menawarkan satu jasa; privat calistung. Itu tidak berkeringat dan tidak membebani otak. Prataya juga menyukai anak-anak. Plus pamor almamater kampusnya yang semakin membuat jalan Prataya mulus.
"Putus kerja itu apa, Kak?"
"Itu berarti Kakak nggak bakal bisa datang ke sini lagi karena kamu akan diajari guru yang lain."
Dimas terlihat murung. Dia menyukai banyak guru les. Dengar dari orang tuanya, dia paling semangat menyambut Prataya ke rumahnya.
"Aku tinggal belajar yang lain saja sama Kak Prataya."
Kakak yang nggak mampu ngajarin kamu. Prataya hanya membatinkan itu dan tersenyum.
Dia pun berniat pamit kepada orang tua Dimas. Begitu berdiri, dia melihat anak gadis lain di ambang pintu. Tangannya meremas-remas kusen seakan ingin mencabutnya dari dinding.
"Dim, dia adik kamu?"
Dimas menoleh. "Kakak."
Badannya tampak lebih kecil dari Dimas. Prataya berlutut di hadapan gadis itu.
"Kenapa, Dik? Mau ikut belajar?"
Gadis itu tidak menjawab. Dia kemudian terlonjak ke depan dan jatuh ke perut Prataya akibat terkejut mendengar suara keras dari belakang punggungnya. Prataya pun duduk dengan kaki bersila, memangku gadis itu.
Terlihat siluet Bapak dan Ibu Dimas di kamar yang pintunya sedikit terbuka.
"Biarin Devi ikut belajar. Kasihan dia, Bang. Umurnya beda dua tahun dengan Dimas, tapi belum bisa baca."
Prataya bingung harus apa. Dia tidak dibayar untuk mendengar pertengkaran orang tua.
"Buat apa bikin pintar anak perempuan? Nanti kalau sudah waktunya juga bisa baca sendiri, kayak kamu! Perempuan itu nanti kalau sudah besar juga bakal jadi hak suaminya. Dapur, sumur, kasur! Ajari saja masak dan bersih-bersih biar nanti dia nggak malu-maluin di hadapan mertua."
Prataya menutup telinga Devi meski dia tidak tahu gadis sekecil itu sudah mendengar pertengkaran seperti ini sebelumnya atau tidak. Dia bergerak mundur mendapati siluet Bapak itu keluar kamar.
Bapak itu menghampiri kamar Dimas, menemukan Prataya bersama Devi. Ditariknya tangan gadis itu. "Ngapain kamu ganggu adikmu belajar? Sana bantuin Mama saja."
Prataya ikut berdiri. Dia perhatikan Dimas membuka lagi buku belajarnya yang baru saja Prataya bantu bereskan. Dan, seolah sibuk di sana.
"Eh, sudah dua jam, ya?" Bapak berusaha mencari-cari jam dinding.
"Iya, Pak. Saya izin pamit dulu. Minggu depan, saya datang lagi."
Prataya segera pergi dari rumah itu.
*
Sembari berjalan pulang, Prataya teringat Rahma. Tubuh Devi tadi persis seperti adiknya sewaktu kecil. Namun, bukan cuma itu saja.
Prataya pun menghampiri boks telepon umum. Dia masukkan koin seratus rupiah dan memasukkan nomor telepon rumah di Yogyakarta. Prataya tidak pernah selega ini bisa mendengar suara Rahma.
"Halo, ini dengan siapa, ya?"
"Dek, gimana sekolahmu?"
"Mas? Mas Taya? Ini beneran Mas Taya, kan?"
"Iya, beneran. Buruan jawab. Teleponnya antri."
"Sekolahku? Ya, baik-baik saja."
"Katanya kamu mau kuliah. Ibuk sudah ngizinin?"
Karena Bapak sudah tidak bisa bicara, Ibuk-lah perpanjangan tangan Bapak.