"Saya nggak tahu itu betulan atau cuma mimpi saya, ya, Mas. Tapi, saya yakin sekali ada sosok bertudung hitam datang tengah malam saat hujan deras ke rumah itu. Nggak tahu datang dari mana dan kapan keluarnya."
Itu yang sebenarnya Bu Sri bisikkan ke telinga Prataya. Namun, Prataya tidak senang bergosip. Dia sengaja tidak menceritakannya pada Ozil. Karena dia sendiri pun tidak bisa memastikan kebenaran kabar itu. Ozil sudah cukup gila dengan mitos Rama Agung. Prataya tidak berminat menambah kadar kegilaannya.
Namun, ciri-ciri Rama Agung menurut kisah yang beredar pun ada yang menyebut dia bertudung hitam. Kalau Ozil dengar, dia pasti berbinar-binar. Dan, kalau itu benar, Prataya yang akan terperosok dalam. Tidak mungkin Bulan adalah korban. Dia bukanlah gadis yang hidup dengan putus harapan.
Pintu kebenaran melalui jalur orang tua Bulan sudah tertutup rapat. Kalaupun benar Bulan pergi ke luar negeri maka bagaimana dengan pernyataan Ibu Sri yang mengatakan orang tua Bulan hanya pergi berdua?
Tipis-tipis, Prataya berusaha mengumpulkan bukti setiap pulang mengajari anak-anak privat. Cukup lama dia dan Bulan saling mengenal, berkeliling Jakarta dan mendengarkan cerita-cerita kebiasaan hidup Bulan selama tumbuh di sini. Prataya paling ingat cerita Bulan tentang ketoprak. Bintang-bintang seakan menyebar dari matanya sambil menunjuk gerobak ketoprak depan komplek.
Prataya menikmati ketoprak dan merasakan pedas berlebih, tetapi ini betulan enak. Indra pengecap Bulan sudah tidak perlu diragukan. Dia yang berwajah oriental ternyata seleranya sangat cocok dengan lidah medok Prataya.
"Selain wajah dan kulitku, aku Indonesia sekali, Prataya."
Kamu benar, Bulan. Aku nggak pernah meragukannya.
"Bang, tahu nggak gadis Tionghoa yang suka beli ketoprak buat keluarganya?"
"Tionghoa? Ya, banyak, Mas. Gimana bisa saya ingat?"
"Itu yang rumahnya di dalam komplek. Rambutnya sebahu. Sudah langganan di sini, katanya."
Penjual ketoprak itu mengerutkan bibir lalu bertepuk tangan sekali. Ikut gembira berhasil menebak maksud Prataya.
"Oh, anak gadis juragan kain?"
"Iya, Pak. Betul! Dia sering beli ketoprak di sini, kan?"
"Iya-iya. Betul itu."
"Kapan terakhir kali Bulan kelihatan, Pak?"
"Waduh, saya nggak tahu, Dek. Saya libur beberapa hari karena rusuh sana-sini. Dar-der-dor-duar di sana di mari."
"Setelah mulai jualan lagi, Bulan nggak beli lagi?"
"Kayaknya nggak, Dek. Tapi, saya ingat dua kali, apa berapa kali, gitu, ya, ibunya yang gantiin beli ketoprak di mari."
Ibu? Prataya merasa apa yang dia cari semakin dekat.
"Beli tiga bungkus?"
"Enggak. Dua saja. Dua. Saya sempat tanya tumben beli dua, tapi Si Encik kagak jawab malah gerutu nggak jelas."
Satu langkah lebih dekat pada kebenaran.
Bulan bisa jadi sudah menghilang sebelum kepergian orang tuanya ke bandara.
*
Prataya memasuki kafe ReFOODmasi dengan tergesa. Dia mengedarkan pandangan secara liar. Berharap Ozil tampak menyempil jadi salah satu pengunjung kafe. Namun, badan bongsor itu tidak kelihatan. Prataya pun memilih duduk di depan bar kafe dan memesan air putih.
"Air putih doang?" Bang Sukses protes.
"Iya, Bang. Aku haus butuh minum bukan butuh keributan," tandas Prataya.
Bang Sukses menyimpan gelas yang sudah dilap sampai kering ke meja di hadapan Prataya dan dia tuangkan teko air putih dengan kucuran yang semakin lama semakin tinggi. Prataya panik dan melompat dari kursi. Dia takut air itu akan beluberan dan membasahi baju.
"Bang, hati-hati!"
Bang Sukses menyimpan tekonya lagi dengan agak membantingnya. Dia jadi kesal karena Prataya terlihat kesal. "Kenapa, sih, Prat?" tanyanya ikut sewot.
"Nunggu Bang Ozil. Sudah kutelepon ke kantornya katanya lagi di luar. Nggak tahu di luar mana. Ada yang ingin aku tanyain."
"Nyari Ozil?"
Prataya mengangguk malas. Dia sedang tidak minat bermain-main.
Bang Sukses menepuk-nepuk dada lalu mengembuskan napas berat. "Ada, tuh, dia di belakang. Lagi boker!"
Prataya memelotot dan dengan cepat menyipitkan matanya. "Bilang dari tadi, dong, Bang!"
Prataya memelesat ke dalam dapur di saat Bang Sukses sibuk merutukinya dari belakang.
Setelah membuka pintu dapur, Prataya langsung berhadapan dengan Ozil yang baru keluar dari kamar mandi. Dia memakai seragam reskrim. Berupa kemeja lengan pendek berwarna hitam dengan logo-logo kepolisian yang terpasang beruntun dari lengan kanan, bagian dada kanan dan kiri, serta lengan kiri.
"Bang Ozil!"