Waktu seperti gelombang laut yang terus menggulung. Prataya tidak bisa berhenti bergerak atau dia akan tenggelam di dalam pusaran waktu. Prataya harus memaksa dirinya terus maju meskipun jiwanya tertambat di waktu terakhir dia menyadari Bulan benar-benar tidak bisa lagi dia temukan. Tubuhnya bergerak, mulutnya berbicara, kadang tertawa, kadang marah, kadang menangis, dan terpuruk. Dia mengulangi siklus tipikal kehidupan. Dia sendiri merasa itu hanyalah refleksi dirinya yang lain, sementara dirinya yang asli sedang melarung dunia harapan beralas rumput dingin yang beratap terang bulan.
Waktu demi waktu Prataya lalui hingga tak terasa sudah memasuki bulan September. Dia tidak pernah tahu sakitnya kehilangan mengganggu hidupnya seperti efek domino. Tidak ada jalan kembali. Berdiri tegak pun dia tetap akan terempas dan hancur. Dan, Prataya pasrah menikmati momen-momen kehancurannya.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Baru kali ini, Prataya merasa dia lebih payah daripada pecundang.
Terutama ketika hari itu datang. Hari yang paling dia harapkan sekaligus hari yang paling tidak sanggup dia hadapi.
Bulan ditemukan.
Bahkan ketika Prataya benar-benar mendengar kabar itu dari mulut Ozil, bayangan dan kenyataan tetap bertubrukan di kepalanya. Itu tidak mungkin. Apa mungkin? Apa itu berarti orang tua Bulan benar-benar berbohong?
"Jangan bercanda, Bang." Itu kalimat pertama yang Prataya katakan.
"Kamu harus lihat sendiri proses evakuasi. Mungkin dengan begitu kamu nggak lagi bertingkah begini."
"JANGAN BERCANDA, BANG!" sangkal Prataya getir, sarat keputusasaan.
Kebenaran pun terungkap dengan cara yang paling mengerikan di benak Prataya. Gadis mungil yang tak kalah indah dari bulan purnama, terperosok di kedalaman tanah sekitar satu setengah meter, ditutupi keramik di dalam rumah kediaman Om Pangestu.
"Ada warga yang melapor kalau dia mencium bebauan tak sedap lalu anjingnya lepas dan masuk ke rumah ini. Saat warga itu menjemput, anjingnya sedang menggali-gali keramik yang tampak kotor dan tidak terpasang dengan benar. Karena penasaran, dia membantu anjing itu dan melihat ada potongan tubuh manusia."
"Kenapa pintunya bisa terbuka?"
Prataya bersuara datar. Dia menyaksikan jasad Bulan satu per satu ke dalam kantong mayat. Bahkan ketika tubuh itu tak lagi utuh, Prataya tahu dia benar-benar Bulan Setiajaya. Ada cahaya yang berpendar di sana. Cahaya yang hanya bisa dilihat Prataya.
"Sepertinya ada maling yang pernah mencoba masuk lewat pintu yang dilewati anjing. Ada bekas goresan benda tumpul di pintu. Tapi, itu masih asumsi. Perlu investigasi lebih lanjut."
"Kalian bisa menghubungi keluarganya?"
Ozil menggeleng lesu. "Informasi terakhir hanya mereka pergi ke luar negeri pada tanggal 20 Mei. Itu sudah diklarifikasi pihak Bandara."
"Apa Bulan sudah berada di dalam tanah sebelum orang tuanya pergi ke Bandara?"
"Tim forensik yang akan menjawab. Nanti aku kasih tahu, Prat. Nanti."
Ozil meraih lengan Prataya dan melingkarkan itu ke bahunya, memberi Prataya tumpuan karena dia terlihat tidak bisa menggunakan kakinya sendiri. Dada Prataya memang bergerak teratur, tetapi napasnya terdengar berat dan tersekat. Langkah Prataya tegap pada mulanya, tetapi itu runtuh sesaat dia keluar rumah Bulan. Prataya jatuh ke tanah, bersama air matanya.
Pangkal tenggorokannya berubah pahit. Sesaknya menggenap. Rusuknya seakan patah, menusuk seluruh permukaan jantungnya. Isakannya tidak lagi tertahan.
Di hadapan semua orang, Prataya memperlihatkan kejatuhannya. Sebagai lelaki. Sebagai pria. Sebagai anak muda yang baru merasakan apa itu cinta. Prataya tidak pernah tahu sesakit itu rasanya sebuah kehilangan dan ketidakberdayaan. Otaknya terus memutar kebersamaannya dengan Bulan yang ditimpa berkali-kali dengan jasad Bulan yang nyaris hancur. Dia tidak sanggup menahan ledakan dahsyat yang menggetarkan seluruh tubuhnya.
Air matanya jatuh silih berganti bersama erangan kesakitan yang teramat memilukan.
*
Prataya yakin dia sudah tidur teramat panjang ketika kelopak matanya perlahan-lahan terbuka.
"Mas? Sudah sadar?"
Hidung Prataya mulai aktif membaui udara. Aroma parasetamol yang sangat dikenali otaknya tercium pekat.
Ini bukan kamarnya. Dia memiliki ranjang dan bukannya sofa hitam sebagai tempat berbaring, sementara di sekitarnya terdapat lemari kaca yang dipadati obat-obatan. Di mana ini? Kenapa dia berbaring di sini?
"Mas? Gimana badannya? Sudah enakan?"
Prataya mengerjap-ngerjap. Sesosok gadis berusaha memenuhi pandangan matanya. Gadis itu mengenakan seragam perawat dengan rambut panjang yang diikat rendah. Hidung, mata, dan bibirnya kecil, tetapi tegas. Struktur wajah yang khas dimiliki orang-orang Jawa. Gadis itu mengingatkannya pada Rahma.