Tidak ada tempat yang aman untuk perempuan.
Prataya menyimpulkan itu sembari menghirup kuah rujak soto khas Banyuwangi buatan Asmarani. Lidah Prataya seperti tersetrum. Dia tidak pernah merasakan sensasi gurih soto daging dicampur petis rujak dan bumbu kacang. Rasanya unik, tetapi tetap nyaman di lidah. Prataya mempercepat suapan demi suapannya. Karena hal itu, Asmarani tersenyum kecil.
Asmarani perempuan asli Banyuwangi. Dia menjadi yatim piatu karena kejadian tragis. Orang tuanya tewas terbakar bersama rumah yang sehari-hari mereka tinggali. Saat itu, Dokter Rita sedang dinas memberikan penyuluhan kepada masyarakat desa di Banyuwangi. Melihat ketertarikan Asmarani pada dunia kesehatan dan sering mendapat bantuan dari gadis itu, Dokter Rita mengajak Asmarani untuk tinggal bersama dia dan suaminya di Jakarta yang seorang dokter pula. Dokter Rita bahkan membiayai pendidikan D3 keperawatan untuk Asmarani. Kini, sudah memasuki tahun kedua, Asmarani mengabdi dan berbalas budi pada Dokter Rita.
Sejak Prataya menyatakan ingin tahu pandangan Asmarani soal perempuan, Asmarani mengizinkan Prataya datang ke klinik dan mereka akan mengobrol setelah jam klinik usai.
Prataya menyukai bagaimana Asmarani bercerita. Dia seolah-olah menjadi pengamat yang berada di luar wilayah perempuan sehingga apa yang dia sampaikan tidak terdengar berbalut sentimental, melainkan penuh dasar-dasar pemikiran dari berbagai kejadian nyata yang terjadi di sekitar.
Dari hari ke hari, Asmarani mengizinkan Prataya memasuki hidupnya lebih dekat. Yang semula mereka akan berpisah di ujung gang, jadi di depan rumah, di depan teras, dan sekarang Asmarani sering menawarkan Prataya untuk makan masakan buatannya dan memberikan itu pula pada Gading. Di beberapa kesempatan, Gading turut berbincang bersama. Namun, sebagai budak korporat menyulitkannya bebas bergerak.
"Memasak untuk suami. Ini juga bisa menjadi problem," tutur Asmarani setelah puas dia menyaksikan rujak sotonya tandas di piring Prataya.
Mereka duduk bersila di karpet tempat tinggal Asmarani. Rumah sederhana dengan satu kamar dan satu kamar mandi. Rumah hasil cicilannya dari menjaga klinik.
Prataya mengernyit halus. "Jadi, menurutmu ada tendensi merendahkan perempuan ketika seorang istri memasak untuk suaminya?"
Asmarani mengangguk tegas. "Ya, kalau itu adalah sebuah keharusan. Mengurus rumah tangga seharusnya bukan kewajiban perempuan saja, tetapi tanggung jawab seluruh anggota keluarga."
Sengat halus menyapa jantung Prataya. Untuk kasus itu, dia agak kesulitan menerimanya. Entah karena sisi maskulinitasnya sedang bekerja atau karena Prataya merasa kaumnya baru saja dipojokkan.
"Tapi, kalau kita tarik garis jauh ke belakang. Misalkan berdasarkan teori evolusi manusia yang walaupun saya nggak percaya manusia berevolusi dari kera, tapi ada satu inti persoalan yang relevan dengan masalah yang kamu bilang."
Raut muka Asmarani tetap tenang. Seakan dia sudah menyiapkan diri bila pernyataannya ditentang. Prataya semakin berani mengutarakan pemikiran.
"Sejak masa berburu dan meramu, dijelaskan secara biologis laki-laki memang memiliki kekuatan yang lebih besar daripada perempuan, sehingga secara otomatis mereka dibebankan pada kegiatan berburu, menciptakan senjata, dan melakukan hal-hal berbahaya. Sementara perempuan yang secara biologis kekuatannya lebih lemah akan menjaga tempat tinggal, mengumpulkan makanan, dan menjaga anak-anak di rumah mereka. Jadi, laki-laki dan perempuan memang memiliki perannya masing-masing saja."
"Itu dia."
"Apa?"
"Mas baru saja menunjukkan sikap defensif terhadap perempuan."
Prataya menganga lama. "Apa? Kenapa?"
"Ketika saya membicarakan kesetaraan, Mas mulai membicarakan perbedaan kekuatan."
Asmarani menatap Prataya, menunggu reaksi pemuda itu. Namun, Prataya hanya menutup mulut dan menggeleng tidak paham. Asmarani pun tertawa halus, nyaris tidak terdengar.
"Itu benar. Perbedaan kekuatan memang tidak bisa disangkal. Tapi, apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan adalah untuk menghentikan pandangan itu, bukan untuk menggantikan peran satu sama lain di antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki akan selalu mudah memukul mundur perempuan seakan-akan perempuan benar-benar tidak berdaya-karena perbedaan kekuatan, padahal menurut teori yang Mas sampaikan tadi pun perempuan berperan besar untuk menjaga anak-anak, calon penerus, bahkan mempelajari makanan apa saja yang aman untuk dimakan atau tidak. Kesadaran bahwa seorang perempuan bagai Ratu yang seharusnya diakui tepat di samping sang Raja. Itu yang sulit."
"Apa karena seringnya Raja meletakkan peran istri di belakangnya?"
Asmarani menggeleng. "Karena Raja tidak berani menggandeng tangan Sang Ratu. Seakan potensi besar sang Ratu bisa mengancam Raja dan melemahkan posisinya."
Prataya mengerutkan kening lagi meski itu cepat memudar. "Saya jadi teringat kisah cerita klasik Rara Mendut yang pernah kamu ceritakan, Asmarani. Seorang perempuan keberadaannya disamakan dengan harta benda yang bisa dijarah oleh pihak yang menang."
Asmarani tersenyum datar dan hambar. Meski berupaya keras netral, Asmarani tetap tidak bisa sepenuhnya meninggalkan identitasnya sebagai perempuan.
"Persis."
"Apa kamu yakin perempuan-perempuan di zaman sekarang masih berada di posisi itu? Bagaimana dengan perjuangan Raden Ajeng Kartini? Apa itu sia-sia saja?"
Asmarani bertolak dari wajah Prataya, menuju piring, lalu menuju halaman rumah yang pintunya terbuka. Dia memandang jauh ke depan. Sangat jauh lebih daripada yang mampu dia pandang.
Dan Prataya menanti Asmarani yang mulai tampak menyelami pikirannya sendiri.
"Ya. Di negeri kita pun belum ada badan khusus yang melindungi hak-hak perempuan sehingga seperti kerusuhan yang baru-baru ini terjadi, apa Mas tahu kalau perempuan telah jatuh sebagai korban?"
Korban. Perempuan. Dua kata itu berdampak luar bisa ke tubuh Prataya. Meski berupaya tegar menanti kabar dari Ozil, Prataya tetap kesulitan menenangkan diri. Karena di waktu-waktu sunyi, Prataya seakan dijemput kehadiran Bulan. Kadang dia muncul hanya berupa lirih lembut suaranya, kadang hanya berupa tawa manis yang memancing Prataya untuk ikut tersenyum, lalu tadi malam, Bulan menampakkan wajahnya yang menangis haru hanya karena Prataya memanggil nama aslinya. Nama lahirnya. Bukan nama yang sengaja disematkan demi menjemput keamanan dan kemudahan birokrasi di tanah kelahirannya sendiri.
Dada Prataya bergemuruh. Dia seperti melihat Bulan tengah tersenyum di hadapannya. Senyum yang mengantarkan perih di seluruh aliran darah karena Prataya tidak akan bisa melihatnya lagi secara nyata.
"Saya dengar. Katanya ada kasus pemerkosaan massal. Tapi, pemerintah belum mengakui apa-apa."
"Tidak akan diakui, Mas. Sampai kapan pun."