Kamar kos Prataya tidak besar, tetapi terdapat karpet kecil yang bisa digelar. Koran-koran menyebar di atasnya. Prataya sering menyalahkan angin yang sering menerbangkan itu setiap dia membuka pintu kamar kos.
"Nah, ini dia." Prataya menggigit tutup stabilo untuk membukanya dan menandai kalimat yang menurutnya penting.
Tok-tok-tok!
Prataya tersenyum menyambut siapa yang datang. Itu Didi dengan setumpuk koran edaran bulan Mei sampai Juni.
Anak penjual koran itu masuk dan menumpuk koran setinggi lengannya ke sudut kamar kos.
"Lagi ngapain, Bang?"
"Cari sesuatu."
"Mau dibantuin, nggak? Aku pintar cari barang hilang."
Prataya tertawa geli. "Bukan barang yang hilang, tapi orang."
"Orang hilang?" Didi terkejut.
Prataya mengangguk. "Orang yang menghilang karena dia sembunyi."
Didi menggaruk kepala dan celananya. "Oh, sembunyi main petak umpet?"
Prataya terbiasa menghadapi anak-anak. Sikap polos mereka tidak mudah membuatnya kesal. Prataya merogoh saku dan memberikan uang pada Didi. "Nih, buat Bapak Ibumu. Buat jajan kamu juga."
Didi menyengir lebar. "Wah, makasih, Bang! Jualan koran juga nggak pernah dapat sebanyak ini. Kalau ada perlu sesuatu lagi, bilang Didi ya, Bang?"
Kepergian Didi diiringi lambaian tangan Prataya. Prataya mencoba kembali fokus mencari informasi dari beberapa terbitan koran.
"Hoi, Prat!"
Prataya terlonjak kaget. Dia sampai terlempar ke belakang dan bertumpu siku. Matanya membelalak mendapati Gading dan Asmarani sudah berada di ambang pintu.
"Kalian ...."
Gading yang merasa kamar Prataya adalah kamarnya sendiri menyelonong masuk, menginjak-injak koran, dan menyapunya dengan kasar supaya dia bisa duduk di karpet, di samping Prataya yang terlihat gatal ingin meninjunya.
"Kenapa?" Gading berujar polos.
Asmarani membawa rantang. Dia menyimpan itu di satu-satunya meja di kamar kos Prataya. Lalu ikut duduk melipat kaki di dekat koran.
Gading mengeluh sakit kepala dan pegal-pegal, tetapi dia malah meminta obat langsung pada Asmarani ke rumahnya. Karena Asmarani menanyakan Prataya yang tidak lagi berkunjung ke klinik atau tempatnya, Gading mengajak gadis itu ke kosan.
Melihat Asmarani duduk di lantai, Prataya buru-buru melipat koran dan berusaha merapikannya.
"Duduk di dalam saja, Rani. Jangan di lantai begitu."
"Nggak apa-apa, Mas. Di sini saja."
Mata Asmarani mengintip penanda stabilo yang tampak dari beberapa kertas koran. Prataya kurang cepat menahan Asmarani yang mengambil salah satu koran.
"Alamat ... Rama Agung?" Asmarani bertanya hati-hati.
"Rama Agung?!" Gading ikut-ikut mencuri beberapa koran, mengamati apa yang Prataya tandai dan menganga lebar.
Prataya menunduk pasrah. Dia seharusnya tahu selama Gading berada di dekatnya itu berarti percuma saja berahasia.
Gading meninju bahu Prataya ringan. "Heh, lu nggak lagi nyari cara ketemu Rama Agung, kan?"
Prataya tersindir. "Memangnya kenapa?"
Mata Gading membola. "Lu pengin ditidurin selamanya sama dia?"
"Ditidurin?" Prataya mengernyit aneh. Kata itu biasa saja. Tapi, karena Gading yang menyebutnya, maknanya jadi berubah ganda.
Asmarani bertanya, "Mas, betulan mau cari Rama Agung?"
Prataya merasa terpojok. Dia yang tidak bisa mengelak, kemudian mengangguk.
"Kenapa, Mas?"
"Iya, Prat! Kenapa, sih?" serobot Gading.
Ditatap intens oleh dua orang sekaligus, membuat ketangguhan Prataya agak menciut. Dia merasa tidak ada salahnya juga kalau dua temannya mengetahui hal yang sebenarnya.
Malam itu, Prataya menyampaikan segala kecurigaan dan tekadnya menemukan Rama Agung.
*
"Eh, gimana kalau lu kenapa-napa? Lu mikir nggak, sih, yang bakal lu hadapi itu siapa?"
"Mitos," sahut Prataya meledek.
"Menurut ceritanya, dia bisa membunuh cuma dengan sekali suntikan, Prat. Gua jadi ingat sama versi cerita yang bilang Rama Agung itu bagai dewa. Dia cuma perlu memeluk mangsanya dan mangsanya terkulai lemas. Kalau dalam versi dunia kita, mungkin itu maksudnya dia lagi nyuntik korbannya!" terang Gading menggebu-gebu. Dia pun memamerkan lengan yang bulu romanya menegak. "Lihat! Gua merinding!"
"Saya turut menyesal mendengarnya, Mas. Perempuan yang Mas ceritakan mungkin jadi korban kerusuhan kemarin," tutur Asmarani. Dia berusaha melembutkan nada, tetapi apa yang sampai tetaplah menyakitkan di telinga Prataya.
"Ya, makanya saya ingin tahu kebenarannya. Kalau hanya karena gadis itu diperkosa dan tetap hidup setelahnya, itu berarti dia dibunuh oleh seseorang."
"Gimana kalau pelakunya Bapak dan Ibunya sendiri?" sergah Gading.
Prataya menggeleng. "Nggak mudah orang awam buat nyuntik tepat ke pembuluh darah. Mereka juga nggak bakal tahu bahan kimia apa yang harus disuntikkin sebagai obat anestesi. Kalau memang orang tuanya berniat menghabisi Bulan, mereka bisa melakukan hal yang lebih sederhana. Tapi, kenapa harus dengan disuntik?"