Berdasarkan penelusuran Ozil dan tim, mereka sepakat obat bius yang disuntikkan kepada para korban didapat dari klinik atau rumah sakit. Ada beberapa kemungkinan tempat, tetapi yang paling dekat dengan penemuan korban-korban adalah klinik pribadi Dokter Rita. Itu sebab Ozil mencurigai tiga orang yang berwenang mendistribusikan obat-obatan. Di antaranya suami Dokter Rita, Dokter Rita, dan Asmarani, satu-satunya perawat di sana.
Mendengar itu, Prataya sulit menerimanya. Bahkan, dalam batas khayalnya sekali pun. Dia tidak yakin apakah mungkin seorang dokter yang sudah disumpah akan melukai pasiennya? Begitu pula dengan Asmarani. Dia terlihat sangat lembut dan bernurani. Dia pun punya kepedulian yang sangat tinggi terhadap perempuan.
Tidak mungkin Asmarani adalah pelakunya, tetapi itulah yang Ozil teriakkan.
"Aku bekerja pada kemungkinan, Prataya."
Dia terlihat sangat yakin. Dan, Ozil tidak pernah menuduh orang sembarangan. Pekerjaannya telah melatihnya seperti itu.
"Mas Taya!"
Prataya berusaha mengusir keterkejutannya mendengar kabar itu, menghadapi keterkejutan yang lain. Dia sempat merasa asing dipeluk adiknya sendiri. Namun, menyadari Rahma mulai membasahi kausnya, Prataya tahu dia tidak boleh bersikap seperti itu. Prataya pun membalas pelukan adiknya yang kini sudah menangis terisak-isak.
Usapan demi usapan Prataya berikan pada Rahma di rambut dan punggungnya. "Eh, kenapa, Dek? Kok sampai nyusulin ke sini?"
"Bapak, Mas ...."
Semut-semut seperti bermunculan. Prataya merasakan itu menggeremet di hatinya.
"Ada apa sama Bapak?"
Meninggal? Prataya tidak pernah tahu kalau adiknya menyayangi Bapak sebegini besar.
"Bapak bangun, Pak. Tiba-tiba saja bisa bangun."
Dan, ternyata itu tidak benar.
Prataya seperti tahu apa yang adiknya takutkan. Rahma pun menjauhi dada dan menyusut air matanya dengan lengan. Barulah Prataya terpukul melihat wajah Rahma sudah dihiasi bilur tebal.
Prataya membungkuk, menarik dua bahu Rahma demi mengamati lebih dekat. Dia tidak percaya sebelah mata Rahma membiru, rahangnya bengkak, dan bibirnya pecah berdarah.
Pemandangan yang tidak asing. Adiknya terlihat seperti dirinya yang lalu.
"Ini ulah Bapak? Gimana sama Ibuk? Kenapa Bapak berani mukul kamu?!" Prataya bertanya keras dan khawatir.
Rahma menangis lagi. Untuk sekian menit dan jam. Setiap dia mencoba bercerita, suara yang mampu keluar hanyalah tangisan.
*
Rahma sedang tertidur. Dia kelelahan menangis.
Prataya membuka lemari dan menemukan mi instannya kosong. Karena sudah di atas jam 10, dia pun memutuskan ke kamar sebelah—kamar Gading.
Lampu kamar itu menyala, tetapi sepi. Prataya berusaha mengintip, tetapi yang bisa dia dapat hanya bayangan tirai.
"Cari apaan lu?"
Prataya menoleh dan menemukan Gading. Pakaiannya berantakan dan tampak kotor. Dasinya terlempar ke belakang. Ketimbang habis pulang kerja, Gading lebih terlihat seperti habis bergulingan di tanah.
"Dari mana kamu, Ding?"
Gading cengengesan. Dia melengos, melewati Prataya dan membuka kunci pintu kos. Dia melirik tanpa berbalik. "Butuh apaan?"
"Mi. Adikku lagi ke sini."
Gading tampak mematung sesaat, tetapi dia tidak bereaksi banyak. Dia masuk ke kamar. Lalu tak sampai dua menit, dia serahkan dua bungkus mi instan pada Prataya.
"Adik lu cantik, nggak?"
Prataya melongo. Gading menyeringai culas.
"Jangan berani-beraninya dekati adikku," peringat Prataya.
Prataya pun pergi. Dia merasakan Gading bersandar di pintu dengan gaya itu. Melipat tangan ke ketiak.
"Ei, berarti cantik banget."
Prataya memutar kepala dan mengacungkan jari tengah padanya. Gading terbahak-bahak. Gading selalu berhasil memancing Prataya menjadi kasar.
*
"Dek, sudah mendingan?"
Rahma mengangguk sembari menyelimuti diri seolah itu benar-benar memberikan rasa aman. Dia kelihatan lemas. Rambutnya kusut berantakan.
Prataya pun keluar kamar lagi dan memasak mi di kompor bersama. Terletak di bagian siku kamar kos yang berbentuk L. Gading sudah tidak kelihatan. Setelah beberapa menit, dia bawa dua mi siap makan dengan nampan lalu duduk di karpet bersama adiknya.
"Setelah makan, ceritain semuanya."
Rahma mengangguk patuh. Prataya jeri melihat adiknya kesulitan makan mi karena bibirnya yang terluka. Namun, gadis itu tidak pantang menyerah. Dia menggulung mi dengan sumpit dan memasukkannya ke sisi bibir yang sehat.
Rahma memenuhi janjinya untuk bercerita. Dia mengatakan Bapak selalu mencoba untuk bangun. Kadang, hanya kakinya saja. Kadang, hanya tangannya. Baru-baru ini Bapak berhasil menegakkan punggung dan beberapa hari setelahnya Bapak benar-benar bisa berdiri. Meski sebelah tubuh kirinya masih kaku, Bapak sudah mulai bisa menyeduh kopi dan mengambil makanan sendiri.
Rahma baru lulus SMA tahun ini dan dia berencana melanjutkan kuliah. Berbeda dengan Prataya yang dituntut berprestasi sampai bisa tembus universitas ternama, Bapak punya pandangan lain soal anak perempuan.
Ibuk memang sudah melarang, takut Bapak marah. Namun, Rahma mendapat dorongan dari teman-teman agar mencoba membujuk Bapaknya sekali lagi. Siapa tahu saja pikiran Bapak sudah berbeda.
"Pak, Rahma izin mau lanjut kuliah, ya, Pak?"
"Buat apa?" Meskipun agak terbata-bata karena rahang Bapak belum terbuka utuh, Rahma bisa menangkap jelas nada penolakannya.
Saat itu, Rahma kebingungan. Dia hanya bisa meremas tepian rok.
"Mas Taya boleh dan didukung, kenapa Rahma nggak boleh?"
Rahma menjerit karena kopi panas Bapak disiram padanya. Rahma jatuh berlutut. Ibuk langsung mendekat berusaha mengompres lengan Rahma dengan air dingin. Dia memelototi Bapak, tetapi bungkam. Ibuk tidak pernah berani menyelamatkan siapa-siapa.
"Ya itu beda! Si Taya itu penerus keluarga. Kamu itu habis nikah juga jadi milik suami! Buat apa, to, kuliah tinggi-tinggi? Mau jadi perawan tua? Perempuan itu tidak usah pintar-pintar. Biasa saja. Jadi cantik saja. Pintar masak! Gaet laki-laki kaya biar Bapak senang. Laki-laki itu lebih suka perempuan bodoh. Gampang diatur."
Prataya merasakan kekesalan membumbung memenuhi udara kamarnya. Perjuangan melawan stereotip perempuan ternyata sudah lama tepat berada di depan hidungnya. Bukan tidak tercium, tetapi Prataya yang kurang peka membauinya.
"Kamu kuliah di sini saja. Biar Mas yang pikirin biayanya."
Rahma menahan tangis yang hendak keluar lagi. "Kalau Rahma kuliah, Bapak nggak akan mau jadi wali nikahku."