Prataya meminjam kendaraan dengan menjamin laptopnya pada tukang ojek depan gang. Prataya ingat laptop itu dia dapat dari Bapak. Sebelum masa skripsi dimulai, Bapak memaksa Prataya pulang dan ternyata dia membelikan sebuah laptop yang saat itu kisaran harganya tiga puluh jutaan. "Kamu harus jadi orang besar," pesan Bapaknya saat itu.
Mungkin itu sebab lain Prataya tidak ingin cepat-cepat pulang. Bapaknya pasti akan marah besar. Sudah didukung, Prataya malah mogok di skripsi sampai empat belas semester.
"Jangan ilang, ya, Pak! Itu mahal."
"Alah, mahalan juga motor! Motor mah bisa dipakai narik ngasilin duit. Benda beginian bisa diapain?" pungkas tukang ojek memukul-mukul laptop Prataya di gendongannya.
"Pak, jangan dipukul-pukul gitu nanti rusak. Jangan dibanting juga, ya?"
"Iya-iya." Mas Sapto pun mengusir Prataya dari kediamannya.
Dengan menggunakan Supra, Prataya membelah angin malam. Ditelusurinya jalanan dengan kecepatan tinggi. Dia memang tidak pernah membawa kendaraan, tapi insting dan kepercayaan dirinya tumbuh begitu saja. Menaiki motor itu mudah. Dia hanya harus mengatur gigi dan menarik tuas gas untuk melaju.
Sekitar setengah jam perjalanan, Prataya akhirnya sampai di kawasan pesawahan yang berdiri tepat di belakang pemukiman. Dari sana, Prataya mulai kebingungan. Tapi dia ingat patokan jalan yang diberikan si Suntik Hidup adalah gapura berwarna merah dengan bendera merah putih berkibar di atasnya. Dia mendapati itu, turun dari motor, dan lanjut berjalan.
Berbeda dengan jalan utama, jalan gang ini sepi sekali seperti kota lama yang ditinggalkan dengan bangunan yang hanya menghiasi sisi kanan, sementara bagian kiri adalah hamparan sawah.
Prataya tidak mendengar suara manusia. Hanya derit tonggeret, padi hijau bergesekan, dan angin bertiup yang agak kencang. Semakin masuk ke dalam, semakin senyap suara yang bisa didengar.
Prataya tiba di ujung jalan yang ditembok. Prataya yakin di balik tembok adalah sawah yang lain. Penerangan begitu minim. Hanya berasal dari lampu-lampu jalan yang itu pun tidak semuanya menyala. Prataya melihat sekeliling dan tidak menemukan siapa-siapa.
Prataya mengusap kaki dan lengan, sesekali menepukinya keras. Rama Agung tidak datang. Dia malah disergap nyamuk kelaparan.
Sejam telah berlalu. Prataya tidak yakin. Dia hanya menebaknya dari takaran kebosanan menunggu.
Prataya ditipu.
Itu yang berterbangan di dalam kepalanya, mengingat segala alat yang digunakan untuk menerornya pun seperti alat yang digunakan untuk anak-anak.
Dengan kesal, kerikil dia tendangi. Dia memang si bodoh yang tidak akan mampu mengubah apa pun. Perasaan itu makin dalam dan tertancap ke dalam jiwa seiring tidak munculnya tanda-tanda kehadiran seseorang.
Prataya akan pulang. Sembari berjalan sampai ujung gapura, dia akan berusaha menebalkan muka.
Namun,
Srak!
Prataya dibekap. Kepalanya ditutupi kain hitam. Dia berusaha berontak, tetapi lututnya ditendang hingga bertekuk. Orang itu ... datang dari balik tembok. Sialan! Dia tidak siap! Kamu memang payah, Prataya!
"Suntik sekarang, Ni!"
Jarum menancap di lengan kiri Prataya. Tidak menunggu waktu lama, pandangan Prataya memburam. Tubuhnya melemas seperti itu bukan lagi miliknya.
Sebelum Prataya dipaksa jatuh ke alam mimpi, dia yakin mengenali suara itu.
Suara laki-laki yang sangat familiar.
*
Dalam gelap, Prataya mendengar suara kasak kusuk seperti yang sering dia dengar sewaktu di rumah. Ketika Prataya berbaring di kamar dan Ibuknya memasak di dapur. Suara mengiris sayuran, menumis bumbu, lalu suara air yang mengalir ke gelas. Suara itu seperti sebuah harmoni yang sangat melegakan seluruh indra Prataya. Setiap pagi, dia selalu merindukan suara itu. Suara yang tenang sebelum suara Bapak datang. Derit kursi makan ditarik kasar, hentakkan koran, dan nada bicara yang tinggi meminta makanan pada Ibuk. Lalu keluhnya akan terdengar, bahkan sebelum makanan itu masuk ke mulut.
Dulu-dulu, suara-suara itu tidak pernah berarti di benak Prataya, tetapi di antara batas sadar dan imaji, Prataya meyakini itu bukanlah sesuatu hal yang normal. Usaha Ibuk bangun pagi, belanja ke pasar, menyiapkan makanan terbaik, dilumat begitu mudah dengan ludah yang terbuang bersama kata-kata menyakitkan Bapak.
"Makanan kok koyok ngene. Tahu tempe terus. Sayur opo iku? Sayur basi?!"
"Sayur asem, Mas," jawab Ibuk pelan. Seakan mengeraskan suara adalah dosa dan diperlakukan tidak sopan sudah hal yang selayaknya.
Apabila kekuatan adalah salah satu hal terampuh memenangkan peradaban, di manakah peran perempuan seharusnya diletakkan? Mereka tidak memiliki kekuatan itu. Oleh sebab itu, mereka memerlukan perlindungan dari laki-laki. Namun, laki-laki mana yang dididik untuk melindungi perempuan saat perempuan sendiri sering disamai derajatnya bagai benda?
Mata Prataya terbuka perlahan-lahan. Kulit lengan dan kakinya terasa perih. Dadanya sesak. Dia terikat di sebuah bangku. Di rumah lama tak berpenghuni. Tali itu melilit dada, perut, kaki, dan tangan.
Prataya melihat ke atas. Ke arah pucuk atap yang berlubang dua kotak. Terang bulan memancarkan sinar. Meski tipis, itu tetap terlihat. Bulan-nya sedang melihatnya.
Lalu punggung Prataya meremang. Dia merasakan permukaan tangan menyentuh bahunya, menari-nari di leher seakan mencari spot terbaik untuk menusukkan racun tidur. Tangan itu terasa halus dan ramping.
"Siapa kamu?" tanya Prataya pelan, tetapi awas.
Orang di balik punggungnya tidak menjawab. Dia bergerak, pakaian panjangnya terdengar berat saat bergesekan dengan semen.
Sosok bertudung hitam. Prataya benar-benar berhadapan dengannya.
"Siapa kamu?" Prataya mulai kembali mampu memeluk suaranya, memeluk kekuatannya.
Orang itu membuka tudung dan melepaskan jubah. Sosok itu tersenyum kecil, seperti senyum yang selalu dia tampakkan pada Prataya—di rumahnya atau di klinik.
Napas Prataya tertahan sesaat. Dia tidak percaya orang di hadapannya benar-benar Asramani.
"Halo, Mas."
Suara datar itu menyihir. Prataya tidak bisa berpaling.
"Kamu ... Rama Agung?"
Asmarani berseragam perawat. Rambutnya dikuncir dan disampirkan ke depan. Dia terlihat bagai gadis manis yang tidak akan kuat menahan tusukan jarum suntik. Namun, apa yang terlihat memanglah bukan segalanya.
Sorot mata itu kini terlihat bengis dan kuat. Setelah sekian waktu selalu tampak kosong.
"Saya penyelamat."
Prataya refleks menarik tangannya. Dia tidak tahan berada di bawah kungkungan seorang berengsek yang seenaknya mempermainkan nyawa manusia.
"Kamu pembunuh. Itu seharusnya julukan yang tepat buat kamu," kata Prataya penuh tekanan.
"Tapi, semua orang senang, kan? Pesona Rama Agung begitu indah. Sang penyelamat dari penderitaan."
Asmarani tersenyum. Lebar. Sangat lebar. Dia tidak pernah tersenyum selebar ini selama bersama dengan Prataya.
"Apa tujuanmu memulai ini? Siapa korban pertamamu?"