Di ruangan gelap dan berdinding kaca yang sama gelap, gadis itu duduk dengan pandangan tidak terbaca. Di hadapannya terdapat meja panjang dan seorang polisi. Sementara tangannya diborgol, juga kefokusannya.
Reserse bernama Ozil itu menggebrak meja berulang kali. Kulit tangannya pasti menebal karena itu.
"JAWAB SAYA! Kamu masih sadar, kan?"
Asmarani tidak mengenal waktu. Baginya, semua saja. Sama busuk. Sama memuakkan. Namun, bibirnya yang mengering dan tenggorokannya terasa terbakar telah memberi tahu Asmarani bahwa penyelidikan ini mungkin sudah berlangsung lebih dari sepuluh jam. Asmarani berulang kali merutuk pada fisiknya yang lemah. Pada kepala yang sakit dan telinga yang berdengung.
Dialah sang penyelamat.
Tidak seharusnya dia diperlakukan begini.
"Setelah Gading membantu kamu membius dan mengikat Prataya, kamu berikan dia minuman yang sudah dicampur obat tidur. Itu benar?"
Asmarani mengetuk-ngetuk jari di meja. "Mas Gading ... dia menarik. Orang seperti dia mudah sekali dipengaruhi. Dan, mudah ditemukan."
Dia mengelak. Ozil menelan sabar.
"Kenapa kamu menghabisi Prataya? Apa masih belum cukup korban yang sudah kamu suntik mati?"
Asmarani menyeringai tipis. Sangat tipis, tetapi kentara di bibirnya yang kecil. "Kalau saja kekuatan bukan hanya dianggap milik kalian, perempuan tidak akan terluka."
Ozil mendelik dan mencatat di kertas.
"Tapi, masa depan seperti itu hanyalah fatamorgana. Itu sebabnya saya harus ada."
Ozil melonggarkan kerah. Gadis ini memiliki tatapan kosong sekaligus berisi. Dia ingin menguliti otaknya dan membaca apa saja yang tertera di sana, dan yang utama apakah ada kerusakan jaringan hingga menyebabkan pikiran gadis ini bergeser?
"Kamu membunuh mereka semua. Kamu berlagak menjadi Tuhan yang sok tahu apa yang terbaik."
Asmarani buang muka. "Tuhan sudah lepas tangan. Dengan membiarkan kebinatangan laki-laki bebas berkeliaran."
Ozil memutar bola mata. Sulit sekali mendapat pengakuan jelas dari perempuan ini. Di ruang periksa ini sudah dilengkapi CCTV dan alat perekam, tetapi Ozil tetap setia mencatat apa saja omong kosong yang Asmarani utarakan.
"Apakah menurutmu Prataya selamat?"
Asmarani memandangi tangannya di meja. Tangan mungil yang halus karena jarang diajak bekerja kasar. Tangan lentik yang bisa gesit menancapkan racun ke tubuh manusia. "Saya sudah mengirimnya ke tempat terbaik."
"Tempat terbaik?" Ozil menjatuhkan pena. Perhatiannya teralih sepenuhnya. Dia menyatukan tangan di bawah dagu. Mencari-cari cara menerobos pikiran Asmarani melalui matanya. "Di mana itu, Ratu Agung?"
Asmarani tampak senang mendengar julukan barunya itu. "Di keabadian," balasnya antuasias.
"Kamu membunuhnya dengan suntikan?" Ozil bertanya pelan.
"Saya ... menghidupkannya," pungkas Asmarani.
Ozil menarik mundur kepalanya. Dia tersenyum sinis. Ditutupnya buku catatan dan dilipatnya tangan di meja. "Kami sudah mencium gerak-gerikmu jauh sebelum Prataya mengetahui kebenarannya. Kamu merasa cerdik, tetapi ceroboh. Kamu memang mematikan orang yang menderita, tapi kamu membiarkan saksi hidup berkeliaran. Kami berhasil menemukan orang tua Bulan, gadis pertama yang kamu bunuh, dan dari cerita mereka, kami tahu kamulah pelakunya. Tapi, itu masih bukti tidak langsung. Kami berencana menjebakmu dan mempertontonkan pada semua orang bagaimana Rama Agung sebenarnya membunuh para korban."
Asmarani tidak bereaksi. Namun, Ozil yakin mata itu belum berkedip untuk beberapa menit.
"Kami mengirimkan surat palsu berisi ungkapan gadis putus asa yang menginginkan kematian dan dia berhasil mendapatkan berita bahwa klinik Dokter Rita, ada seseorang yang mampu mewujudkannya. Surat yang kamu terima sehari sebelum aksi terormu pada Prataya. Kamu pasti mengira itu jebakan dari Prataya supaya Rama Agung keluar dari persembunyian. Karena menurutmu ... hanya dia satu-satunya orang yang sedang sangat tertarik dengan Rama Agung."
Ozil menelengkan kepala. "Sayangnya, kamu salah sasaran dan ide kami berantakan karena Prataya bergerak tanpa komando. Kalau bukan karena adiknya Prataya yang cepat-cepat melapor, kami hampir kehilangan dua nyawa hari itu."
Alis Asmarani bergerak turun. "Hampir ...," gumamnya.
"Nyawa Gading tidak selamat. Dia mati karena efek sianida yang begitu cepat, sementara Prataya berhasil melawan dengan bantuan CPR dan napas buatan sampai rusuknya hampir patah," tutur Ozil. "Kamu juga gagal menyuntikkan seluruh dosis pembunuhmu karena kami telanjur datang." Ozil menyeringai menang. "Kesaksian Prataya akan jadi dukungan bukti di persidanganmu nanti. Visum, sidik jari, bahkan laporan Dokter Rita yang mengaku obat-obatannya selalu berkurang, semuanya menunjuk kamu sebagai pelakunya. Kamu tidak akan bisa bebas lagi, Asmarani. Rama Agung dan mitosmu resmi berakhir."
Ozil berdiri dan dua penjaga ruangan menyergap lengan Ratu Agung. Binar mata Asmarani berpendar gelap. Dia memberontak. "Tidak. Saya belum berakhir! Sayalah penyelamat. Jangan pegang-pegang, kalian biadab!"
"Bawa dia ke sel!"
Asmarani meronta-ronta. Kakinya terbang karena diangkat dua penjaga sambil digiring keluar dari ruang periksa.
"Saya tidak membunuh siapa pun! Saya membantu mereka! Saya menyelamatkan mereka! Manusia bodoh seperti kalian, tahu apa?!" Asmarani menjerit-jerit dan memekik. Sampai dia dibawa ke sel bawah tanah, Ozil masih bisa menangkap gaung suaranya.
"Dasar Prataya bodoh. Sudah kubilang jangan bertindak sendirian."
*
"Prataya?"
Panggilan itu terdengar lembut dan kuat. Prataya juga mencecap manis di lidah setiap kali mendengar suaranya.
"Prataya? Bangun."
Prataya membuka mata dan terlonjak kaget. Sosok di depannya adalah Bulan. Benar-benar Bulan yang pancaran keelokan wajahnya bisa Prataya lihat dari kejauhan. Prataya mengedarkan pandangan dan hanya cahaya putih yang bisa dia lihat.
Apa dia sudah mati?
"Hei, lihat aku."
Prataya melemaskan tubuh dan mencoba bersandar di ranjang rumah sakit. Hanya ranjang ini dan wajah Bulan hal yang bisa dia amati.
"Bulan, itu betulan kamu?"
"Iya, Prataya."
"Maaf. Aku sungguhan minta maaf."
"Kamu tidak salah apa-apa, Prataya. Untuk apa minta maaf?"
"Aku cuma laki-laki bodoh yang bahkan tidak bisa menyelamatkan adik dan ibuku sendiri, aku yang seharusnya lebih dulu mati ketimbang kamu, Bulan."
Mata Bulan memancar sinar lembut. Itu terasa memeluk. "Kamu berbeda, Prataya. Kehadiranmu di hidupku menghapus semua stigma buruk kepada pribumi. Kamulah yang seharusnya ada. Dan, kamu sudah ada. Kamu hanya perlu menjadikan dirimu semakin ada. Kamu mengerti maksudku, kan? Kamu selalu mudah mengerti hal-hal yang tidak semua, bahkan laki-laki biasanya, ingin pahami. Kamu istimewa."
Prataya tidak pernah menyentuh Bulan sekali pun demi penghargaan yang luar biasa pada gadis itu, tetapi sekarang dia takut Bulan yang gambarannya mulai mengabur itu menghilang, Prataya pun meraih tangan Bulan. Kosong. Hanya udara.
"Bulan!"
Bersama senyum terindah yang Bulan miliki, dia melebur menjadi pancaran sinar bulan-di jendela atap itu. Di ruangan gelap yang diiringi tawa hebat, liar, dan memekakkan milik Asmarani.
"Percuma! Dia telah menjemput hidup abadinya sendiri! Dia akan menyusul gadis yang dicintainya! Biarkan laki-laki itu bebas, Keparat!" jerit Asmarani disambung tawa.
Mata Prataya membuka dan menutup. Dalam kilas-kilas kejadian yang menyerbu kepalanya, Prataya sadar dadanya ditekan berulang kali oleh Ozil. Wajah panik laki-laki itu selalu lucu. Mulut dan hidungnya seperti maju. Detik itu, Prataya nyaris saja gagal menahan tawa.