Galvin masuk kedalam rumah, matanya seketika terbelalak melihat seisi rumahnya berantakan. Pajangan-pajangan berjatuhan ke lantai kursi bergeser kaca di meja kayu pecah. Ia menghela napasnya laki-laki itu tahu siapa yang melakukan semua itu. Dari dalam kamar terdengar suara ribut kedua orang tuanya.
"Aku butuh uang ini buat modal. Aku ini suami kamu, kamu harus percaya sama aku." Arif memegang uang pecahan seratus ribuan.
"Ambil! Ambil semuanya aku udah capek, udah gak peduli lagi sama kamu," ucap Nirma.
"Ibu!" Galvin masuk kedalam kamar ibunya dan berdiri melindungi ibunya. "Bapak mau apa lagi?"
"Diem kamu?" bentak Arif.
"Kamu yang diem!" Nirma balik membentak. Ia menatap suaminya tidak ada rasa takut di mata wanita itu. "Aku udah capek menghadapi tingkah kamu yang kasar. Aku mau semua ini berakhir. Aku mau kita cerai. Gak sudi aku hidup sama laki-laki kaya kamu. Kita cerai!!!"
Arif memberengut ia tidak suka di teriaki seperti itu. Tangannya terangkat ke udara ia hendak menampar istrinya itu. Namun Galvin yang berada di depan ibunya menahan tangan ayahnya dengan kuat.
"Cukup Pak! Bapak udah terlalu banyak menyiksa aku sama Ibu. Asal kamu tau, kamu itu bukan seorang Ayah tapi kamu monster!!!" Napas Galvin terengah-engah ia menahan air matanya agar tidak jatuh.
"Kamu liat sendiri kan bahkan anak kamu tidak pernah menganggap kamu sebagai ayah. Apa kamu mau hidup kamu berakhir dan hanya di pandang sebagai seorang monster. Kamu mau?"
Arif terdiam mukanya memerah karena marah. Ia sedikit tertunduk matanya bergerak tak beraturan.
"Setelah ujian, aku akan bawa Galvin pulang ke rumah orang tuaku. Dan sampai hari itu datang aku mau kamu jangan pernah muncul di hadapan kami Arif!!" Wajah Nirma terlihat sangat marah. Perasaan benci berkecamuk di dalam hatinya.
Arif tidak menanggapi perkataan istrinya ia terlihat lemas. Laki-laki itu lalu berjalan keluar rumah dengan langkah gontai. Arif naik ke atas sepeda motornya lalu pergi menjauh meninggalkan rumahnya.
"Ibu gak apa-apa?" Galvin memeriksa tubuh ibunya takut jika ada luka akibat perbuatan ayahnya.
"Gak apa-apa, Ibu gak apa-apa. Galvin setelah ujian kamu mau kan ikut Ibu. Kita pindah dari sini. Menjauh dari Bapak kamu."
Galvin menarik napasnya, berat, itu yang ia rasakan tapi tidak ada pilihan lain. Ia harus selalu ada di dekat Ibunya. "Aku ikut kemana pun Ibu pergi." Ia lalu memeluk ibunya dengan sangat erat.