“Kampung akan mengajarkanmu banyak hal Jom, tentang kesederhanaan, tegur sapa yang ramah, bahasanya yang mendayu-dayu indah, teman-teman dengan persahabatan yang lebih kental.” Ayah memulai ceritanya malam ini, beliau mendeskripsikan kampung halamannya kepadaku karena dalam waktu dekat kami akan pindah kesana. Kota sudah tidak nyaman baginya, diusia Ayah yang sudah tidak lagi muda dan sakit yang sudah dideritanya bertahun-tahun, kampung halaman seolah-olah adalah permintaan terakhirnya sebelum ia menyerah dengan keadaan.
Aku tidak tahu ayah menderita sakit apa, tertutup rapat, tidak berani bertanya karena didikan ayah kepadaku dari kecil seperti itu. Jika kamu berhak untuk tahu maka tunggu saja, jika diberi tahu terima dengan baik, dan jika tidak diberi tahu jangan memaksa, begitu ayah selalu mengulang-ulang.
Ayah bagiku adalah panutan dalam pemikiran. Berkat dia, aku mencintai cabang ilmu yang paling penting, filsafat. Kata ayah, filsafat itu artinya mikir-mikir. Harus diulang dua kali karena jika mikir saja maka artinya akan jauh berbeda. Kita harus bisa mendefenisikan apapun dengan benar, apapun tanpa terkecuali. Hanya dengan itu, kita tidak akan tersesat dalam menjalani hidup. ayah selalu mencontohkannya dengan hal-hal yang sederhana, tidak jarang juga dengan hal yang lucu. Misalnya disebuah kesempatan beliau pernah mendefenisikan apa itu colokan listrik, kompor, kulkas dan lain-lain. Konyol? Tidak tentunya, ayah sedari kecil mendidikku untuk selalu berfikir. Hal yang terus berlanjut sampai sekarang.
“Jom, alam pedesaan dengan intuisi sejuknya, suasana tenangnya, nikmatnya keheningan, Ayah yakin kamu akan menemukan dirimu yang lebih baik di sana, dirimu yang berbeda.” Aku tidak berani memperlihatkan ekspresi tidak suka di depan ayah, lebih tepatnya tidak tega. Lain halnya kepada Ibu, aku berkata terus terang.
“Ibu aku ini anak kota, lahir dan besar di kota, bagaimana dengan sekolahku? Teman-temanku? Silahkan kalian pindah, aku ingin tetap di sini, hidup di kampung sama sekali tidak akan cocok untukku. Kumuh, sepi, tidak ada hiburan, kolot. Bantu aku bicara ke ayah Bu.”
Itu adalah dialogku dengan ibu beberapa hari sebelum pindah, dimana aku masih keras hati menolak. Sebenarnya bukan tabiatku juga seperti itu, sedari dulu aku lebih suka menyendiri dengan buku-buku, berteman pun pilih-pilih. Jadi mau di kota ataupun di desa sepertinya tidak akan berpengaruh kepada kebahagaiaanku. Hanya saja memulai suatu hal yang baru dan meninggalkan kenyamanan yang sudah ada membuat otakku bereaksi agak diluar batas wajar. Ibu tidak berusaha melawan, sama sekali tidak, bahkan nada suaranya tetap sama, selalu lembut. Ibu memang tidak pernah marah, aku tidak pernah mendengar ibu berbicara dengan nada tinggi. Baik disaat tergenting sekalipun ibu selalu memberikanku pemahaman yang endingnya berhasil membuatku menyesal atas kesalahan yang kulakukan. Darah muda sering merasa benar terhadap apa yang terselimuti oleh nafsu.
Seperti dalam kasus ini, Ibu membuatku terenyuh tatkala mengungkapkan bahwa Ayah ingin menghabiskan sisa hidupnya yang sedikit lagi di kampung halamannya. Sedikit lagi, kata itulah yang membuatku seketika merasa menjadi anak paling durhaka. “Ayah butuh kamu disisinya, bukan karena dia lemah, bukan juga karena kamu tidak bisa mandiri, ayah hanya ingin memastikan kamu tidak melakukan hal yang paling ia takuti.”
“Maksud ibu?”
“Nanti kamu akan mengerti Jom, mudah-mudahan ketika waktunya sudah tepat.”
Aku mengangguk pelan. Ditemani air mata ibu yang berderai aku mulai pasrah, bagaimanapun aku sangat mencintai ayah. Jakarta dengan segala sumpah serapah warganya, bisa jadi kelak aku akan menyesal atau malah bersyukur meninggalkanmu, siapa tau.
Kecuali buku-buku koleksiku dan ayah, hampir tidak ada harta yang kami bawa pulang kekampung, hanya yang penting-penting saja, semuanya dijual biar ringkas. Perpisahan dengan teman-teman sekolah? Haha..sudah kubilang, temanku sedikit bahkan boleh dibilang tidak ada yang benar-benar dekat. Hal yang membuatku berfikir ulang kenapa kemaren-kemaren aku bereaksi agak keras atas keputusan ini. Karena sekali lagi, mau di kota ataupun desa akan sama saja bagi orang penyendiri sepertiku.
Apakah aku anak yang berbeda? Tidak, lebih tepatnya aku berani untuk tidak disukai. Standar untuk bisa diterima dalam sebuah circle misalnya setiap pulang sekolah wajib nongkrong di sebuah warung sambil ngerokok. bagiku itu perbuatan yang membuang waktu mudamu sia-sia. Atau berjam-jam ngemall cuci mata sambil menggandeng pacar. Ahh ... apalagi itu. Aku lebih tertarik menghabiskan sore ditemani buku dan secangkir teh dengan sedikit gula.
Bagaimana dengan pacar? Aku tidak pacaran, penganut teori anti pergaulan bebas dan pacaran adalah pintu lebar menuju kesana. Sampai kapan? tidak tahu. Lagian pacaran pasti sangat menyita waktu sementara aku tidak suka diatur, bagiku setiap individu adalah makhluk merdeka, dan masa depan ditentukan oleh apa yang kita kerjakan sekarang.
“Jom, sedikit lagi perempatan grogol, belok kiri kita akan masuk tol menuju bandara. Nikmatilah karena ini bisa jadi kemacetan terakhir yang akan kamu rasakan dalam hidupmu." Kampung, tentu saja, bahkan jikapun kita tidur di jalanan, tidak akan ada kendaraan yang akan melindas. Aku bergumam sendiri di dalam hati.
“Ayah, bolehkah kita muter dulu ke monas? Aku ingin pamit."
“Hahaha ... ."
“Hahaha ... ."
Aku melempar joke untuk mengesankan bahwa hal ini hanyalah hal yang biasa saja untukku, jadi ayah dan ibu tak usah khawatir. Mereka menyambutnya dengan tawa riang yang sedikit menimbulkan rasa bahagia dihatiku.
Dan yang membuatku lebih bahagia lagi adalah semakin dekat waktu kami meninggalkan ibu kota ini, ayah terdengar semakin bersemangat, lupa dengan sakitnya.
Sebenarnya aku bukanlah tipikal anak yang keras kepala, malah sebaliknya aku suka hal-hal apapun yang menggetarkan hati, apapun seperti keakraban anjing dengan tuannya, video penyelamatan kucing yang terluka, menolong pengemis, ending film-film superhero. Ketika melihatnya kepala seperti disiram dengan butiran es, dingin yang kemudian tidak secara sadar menitikkan air mata, sangat nikmat sekali. Bagaimana denganmu? Apa kau juga sering mengalami itu?
Hanya sesekali saja kadang emosiku meledak-ledak, sering aku bertanya-tanya dari mana sumbernya. Beberapa kali coba kudiskusikan dengan ayah tapi beliau hanya senyum-senyum saja, selalu mengalihkan topik ke arah pembicaraan lain. Yang paling parah pernah sekali aku berkelahi di sekolah, reslesting jaket kesayanganku dirusak oleh seorang murid berandal kurang ajar, aku muntah, emosi yang sangat tidak tertahankan, tak bisa dikendalikan. Aku kemudian mematahkan hidung si berandal menggunakan lututku. Ayah sampai dipanggil pihak sekolah untuk menyelesaikan kasus itu. Setelah diinterogasi ternyata si berandal iri kepadaku selama ini karena perempuan yang dia sukai sering melirikku. Tidak hanya itu, dia juga iri ketika aku terpilih menjadi ketua kelas, jabatan yang kemudian kutolak karena aku tidak nyaman tampil di permukaan. Setelah kejadian itu, ayah hanya menasehati untuk jangan mengulanginya, hanya kalimat itu, selebihnya dia hanya membahas hal lain yang tidak terlalu berhubungan.
“Jom, manusia diciptakan untuk hidup berdampingan, untuk saling merangkul. Tapi kenyataan yang banyak terjadi sekarang adalah kita menganggap hidup ini adalah tentang persaingan, tentang saling sikut, iri melihat kelebihan orang lain, iri melihat posisi orang lain yang sedang di atas, sehingga berlomba-lomba saling mendahului dengan segala cara. Ditambah sekarang teknologi semakin maju, menuntut etos kerja lebih, semakin sedikit waktu untuk berfikir, semakin edan dunia, rasa empati semakin sedikit, orang-orang terlalu disibukkan dengan urusan masing-masing, stress dengan tuntutan target pekerjaan, target pelajaran sekolah, sehingga hati jauh dari kata berfungsi."
“Kalau maksud obrolan Ayah tentang perkelahianku tempo hari, sampai sekarang aku tidak merasa dia musuhku Ayah. Badannya besar, lebih kuat dariku, tidak jelek juga, aku heran juga kenapa dia iri kepadaku. Lagian, aku tidak sesibuk itu Ayah, aku bahkan masih punya banyak waktu untuk melamun."
“Kamu tau Jom penyebab munculnya rasa iri itu?”