“Transpirasi dulu baru kondensasi, kamu kebalik anak muda, transpirasi itu mirip evaporasi, cuman uap airnya berasal dari jaringan makhluk hidup. Jadi sebenarnya seluruh badan kita ini menguap, tapi tidak kelihatan, kebayangkan kalau keliatan? serem uuga.” Hah … aku baru saja mendengar bisikan dari seorang siswi di sebelahku. Centil sekali.
“Kamu liat jawaban ku?” Sontak aku menjawab.
“Penasaran aja, apa orang kota itu memang lebih pintar dari kita-kita orang desa, ternyata nggak juga.” Celetukkan perempuan itu membuat kupingku panas, aku tidak tau namanya tapi tentu saja dia tau namaku, setiap murid baru harus melakukan perkenalan diri membosankan di depan kelas, hal yg tidak suka kulakukan tapi harus. Kita terkadang tidak bisa menolak aturan bukan. Dia tanpa kusadari duduk di sebelahku dari tadi.
Pelajaran kedua pagi ini kami belajar di lab Biologi. Lab ini berukuran lebih kecil dari yang kuharapkan, sempit karena kami harus duduk mepet-mepet di kursi dan meja yang berukuran panjang-panjang, jadi agak risih kalau berdempetan dengan perempuan.
Sebelum memulai pelajaran, Bu guru menyuruh kami mengurutkan siklus air bumi sebagai pretest. Evaporasi, transpirasi, kondensasi, presipitasi, infiltrasi tertulis secara acak di papan tulis, kami disuruh mengurutkan dengan benar dan jawabanku salah.
“Jangan gengsi gitu dong, ini tip x kamu bisa benerin dulu, nggak papa, nggak semua orang harus pinter Biologi kok.” Tapi aku memilih untuk tidak membenarkan jawabanku,"ini hanya pretest, wajar salah karena belum diterangkan guru", aku berdalih. Entah mengapa dihadapan gadis itu aku berbicara sok idealis, padahal aku memang malas saja menggantinya, tidak berminat sama sekali dengan pelajaran Biologi dan tidak peduli juga dengan nilainya. Hapalannya terlalu banyak dan bahasanya yang susah. Seperti siklus air itu, menyebutnya saja bibirku belepotan.
“Apa kamu tidak tertarik dengan gadis desa cantik sepertiku, hihihi. Lagian aku juga selalu juara umum di sekolah ini lho. Apa itu tidak menarik bagimu?” Aku mendengus heran, kata-kata itu tidak kupercayai bisa keluar dari seorang gadis desa. Gadis desa itu harusnya lugu, pendiam, pemalu, setidaknya begitulah yang ada dalam perkiraanku.
Kemudian ia lanjut berbisik, ”aku dari dulu bercita-cita ingin punya pacar orang kota, aku butuh wawasannya yang katanya lebih luas, aku butuh ilmunya karena harusnya lebih pintar, tapi sepertinya kamu pengecualian."
“Tunggu, apa kamu begini sama semua orang baru?” Aku bertanya dengan nada serius, anehnya biasanya aku tidak nyaman berbicara dengan perempuan yang baru kukenal, tapi ini berbeda.
“Hah, tidak juga, hanya aku tidak suka menahan kata-kata, aku selalu tidak tahan untuk menyimpannya. Aku Hera dan bibirku adalah konduktor tanpa tahanan.” Ia menjulurkan tangannya mengajak berkenalan, aku sedikit grogi sehingga agak telat untuk merespon.
Ya..Hera adalah simbol blak-blak an yang kutemui di tempat terpencil ini, apa yang harus keluar maka akan dikeluarkannya tanpa penyesalan. Benar, bibirnya adalah konduktor tanpa tahanan. Karena blak-blak annya itu, kami kemudian jadi cepat akrab.
Budi menghampiriku di lorong sekolah ketika jam istirahat, kami beda kelas. Aku kemudian menceritakan kejadian pagi ini kepadanya dan berniat untuk ikut dengan sepedanya besok, pun juga tentang perkenalanku dengan Hera. Budi tertawa karena sudah memprediksi hal itu pasti terjadi, ia lalu menekan-nekan tombol dihandphonenya dan tak lama kemudian Hera datang menghampiri kami.