Supermoon

Adel Romanza
Chapter #4

Sepeda Tua

Agar tidak bosan di rumah, Ayah membelikanku sebuah sepeda lewat kenalannya. Niatnya agar aku bisa berkeliling kemanapun aku mau, mengenal kampung ini. Sepeda bekas yang modelnya terlihat sangat kuno, rangkanya berdiameter kecil tapi sangat tebal dan berat. Begitu juga rodanya, berdiameter besar pula dengan ukuran ban yang sangat kecil bervelg model jari-jari, sepeda unto dinamai warga kampung. Ada kursi penumpang di belakangnya tapi tidak berbusa, tentu saja tidak nyaman untuk diduduki. Lama-lama kupandangi keren juga, classic is not old. Apalagi di bagian depan ada lampu berbentuk corong yang terhubung ke dinamo silver dan terikat di bagian rodanya, untuk penerangan di malam hari. Warnanya ijo tua. apakah aku malu mengendarainya? Awalnya kupikir juga begitu, tapi ternyata beberapa anak muda juga menggunakan sepeda jenis ini, jadi tidak apa-apa. Besoknya dengan sepeda ini juga aku akan berangkat kesekolah.

Pagi.... dan aku lebih bersemangat berangkat sekolah lebih pagi, mungkin karena tak lagi jalan kaki atau menumpang dengan Budi, for your information, sepeda ini kunamai Samsul, nama yang biasa digunakan untuk manusia memang, tapi itu adalah semata-mata sebagai bentuk dedikasiku atas rupanya yang begitu klasik. Jalanan kampung yang berkerikil ditambah kontur sepeda yang tinggi memaksaku untuk lebih berkonsentrasi agar tidak terpeleset, susah juga ternyata mengendarai si Samsul ini. Butuh skill keseimbangan yang lebih. Budi dengan pongahnya menertawaiku karna ia tau aku seperti takut jatuh. Ia juga mengendarai sepeda yang mirip dengan punyaku tapi sudah karatan dan minus sana-sini. Kendaraan tempur, begitulah kami menyebutnya.

“Jom, ngomong-ngomong, sepedamu keren juga, classic is not old." Haa, bagaimana bisa secara kebetulan kami memiliki istilah yang sama. “Tapi ini masih kepagian, ayok kita lewat jalan yang berbeda, lebih jauh memang, tapi lebih seru sekalian olahraga pagi gimana? Nanti kuberi kau kejutan juga."

“Kejutan, sepertinya seru, sudah lama aku tidak mendapat kejutan, Ayok, gass … .”

“Kayuh bro, ngk ada gassnya … vem ... vem ... vem... ." Budi meledek bahasaku yang baginya lucu. Selera humor adalah satu-satunya hal yang belum terlalu connect diantara kami.

Kami kemudian menelusuri jalan menuju sekolah yang berbeda, jalan ini belum pernah kulalui, asing dan lebih rimbun, semakin jauh semakin bersemak-semak.

“Liat, setelah tikungan di sana kau harus berhati-hati!” Budi berbicara dengan setengah berteriak, ada semacam semangat di dalam kata-katanya, ditambah pupil matanya yang agak membesar seketika, seperti kucing yang sedang konsentrasi penuh ketika akan menangkap mangsa.

“Jalanannya jelek?”

“Ngk, liat aja nanti."

“Dan … .”

“Dan apa?” Budi sepertinya sudah merencanakan hal ini sehingga aku penasaran setengah mati.

“Kejutannya ada di sana!”

Kejutan?? Aku tidak mengerti maksud Budi, tapi rasa penasaranku semakin menggunung sehingga agak sedikit mempercepat laju sepedaku, ingin segera mencapai tikungan itu, Budi kutinggalkan di belakang, sepertinya dia mulai terengah-engah karena kebanyakan berbicara.

Dan, boooommmm ... !

Benar saja, selepas tikungan yang dimaksud Budi aku seketika hilang konsentrasi, seperti masuk ke dunia lain, menerawang setengah sadar, hilang kehati-hatian, kemudian bergumam sendiri. Tiba-tiba jalanan kurasakan mulus tanpa kerikil, licin tanpa halangan.

Lihat selengkapnya