Supermoon

Adel Romanza
Chapter #5

Lensa Lara (3 bulan kemudian)

“Si Bodoh … ! Dasar Bodohh … memalukan si Bodoh … itu kan gampang sekali Joooom, kau liat saja si Mustafa, dia itu sudah 2 kali tinggal kelas tapi nilai ulanganny kali ini 80, tidak ada satu muridpun yang kali ini nilainya jelek Jom, pelajaran tentang lensa itu gampang sekali dan kau cuma dapat nilai 45!” Hera muntah hari ini, amarahnya maksudnya. Biasanya cuma menggerutu sedikit jika nilai ulanganku jelek, tapi kali ini tidak terbendung dan seperti biasa, watados, aku tak peduli. Nilai ulangan tidak akan menentukan masa depanku, mungkin karena itu juga Hera jadi muntah. Adalah Mustafa, pemuda separo abstrak yang selalu menjadi target bulliying oleh murid terlemah sekalipun dijadikan objek pembanding, kasian Mustafa.

“Apakah semua orang harus ahli disegala bidang Hera? Kau tau David Foster? Musisi pencipta lagu yang sudah kaliber dunia bahkan tidak bisa menulis lirik untuk lagunya sendiri. Albert Einstein, dia sering kabur saat pelajaran matematika. Charles Darwin, sama sekali tidak suka dengan pelajaran hitung-hitungan. Tapi semua orang-orang itu sangat ahli dibidangnya masing-masing, terkenal.” Begitulah kata-kata pembalasanku kepada Hera, tapi tentu saja tidak kuucapkan langsung, hanya kutulis disebuah kertas buram lalu kubuang ketika jam sekolah berakhir, aku menghindari sebisa mungkin pertengkaran, lebih baik emosi yang keluar kutumpahkan ke dimensi lain. 

Pulang sekolah hari ini aku ingin sendiri, bukan untuk meratapi nilai ulangan Fisika tapi lebih ingin sendiri saja. Aku mulai mengayuh sepedaku keluar parkiran sekolah dengan separo melamun sebelum Hera mengagetkanku.

“Jom! capek aku mau nebeng, sepedanya kutinggal di sini saja.”

“Yah … .”

“Kenapa yah? Ngk boleh?”

“Mmm ... boleh ... boleh, ayuk. Tapi jangan marah-marah.” Aku ngk bisa menolak, bagaimana mungkin aku menolak, hubungan pertemananku dengan Hera memang seperti itu, kadang aku menyesali kesendirianku diganggunya tapi berdua dengannya akhirnya sering kusadari lebih menyenangkan, demikian pasal 1 Jom vs Hera.

“Aku tidak tertarik dengan pelajaran-pelajaran seperti itu Hera, otakku lebih suka memikirkan hal-hal tentang hidup, tentang manusia, hewan, tumbuhan. Aku terkadang berpikir bagaimana cara sekuntum kembang sepatu menikmati hidupnya, apakah mereka bahagia dengan keadaan seperti itu, dari lahir, tumbuh, mekar, layu hingga mati ditempat yang sama, seumur hidup menginjak tanah yang sama. Ketika madunya dihisap seekor lebah mereka hanya bisa diam pasrah, begitu juga jika ada ulat yang menggerogoti daunnya, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Terlebih lagi manusia, yang sering seenaknya saja menyobek daunnya, memetik bunganya, dikoyak-koyak kemudian dibuang begitu saja. Bagaimana kalau si bunga itu sedang berbincang penuh kasih sayang dengan anak-anaknya yg masih kuncup, menyemangati mereka agar semangat untuk mekar, namun tiba-tiba manusia si predator laknat datang membunuh ibunya. Aku yakin si anak kuncup menangis penuh iba, tapi tak boleh kelihatan karena marwah sekuntum bunga hanya boleh memperlihatkan keindahan."

“Hihihihi... .” Hera tertawa separo geli, tapi ada sedikit kekaguman juga terlihat di wajahnya, aku sesekali mengintip kebelakang.

“Kamu lagi ngomongin apa sih Jom? Lucu. Aku baru pertama kali punya teman yang otaknya kayak kamu, konslet-konslet nyelekit, aneh tapi menarik, spesies langka. Setiap kali nilai ulanganmu jelek aku memang kesal, apalagi yang tadi yang ibaratnya mak-mak putus sekolah aja bakal dapat nilai bagus saking gampang soal-soalnya. Tapi yasudahlah aku sepertinya keterlaluan, maafkan aku ya beb… .”

“Beb? Maksudmu babi?”

“Ahhhhh … ."

“Kau tau, akhir-akhir ini aku juga sering berpikir, mungkin terpengaruh kamu kali ya. Jom seorang pemikir, beruban sebelum waktunya, hahahaha."

“Hahaha ... sial, kamu mikirin apa?”

“Mmmm … begini. Hera memperbaiki duduknya sebelum melanjutkan percakapan. “Coba kamu perhatikan, kebanyakan orang-orang seusia kita itu hidup standar seperti remaja kebanyakan, ikut trend yang sama, fashion, sinetron. Tuntutan orang tua juga rata-rata sama, harus pintar matematika, masuk jurusan IPA, minimal harus rangking sepuluh besar, kau tau ibuku selalu menangis bangga setiap menerima raporku, awalnya aku juga ikut menangis tapi lama-lama sudah biasa saja. Piala-piala yang ada dirumah lama-lama juga makan tempat, sudah kebanyakan dan sudah tidak enak dipandang. akhirnya dengan semua keseragaman itu ya tumbuhlah generasi homofobik. Hampir tidak ada perbedaan antara satu dengan lainnya, memaksakan pintar matematika, memaksakan punya hobi dan minat yang sama, akhirnya ya sampai tua tidak menemukan jati diri sendiri.”

Lihat selengkapnya