Supermoon

Adel Romanza
Chapter #7

Bukit Kalimuntiang

Sudah jam 6, pagi ini aku terhitung bangun agak siang. Karena ini hari Minggu? Bukan juga, kesiangan hari ini lebih dipersembahkan oleh agenda semalaman nonstop mengumpulkan defenisi cinta dari tokoh-tokoh ternama. Musik bisa saja mendefenisikan cinta lewat nada, tapi akal butuh defenisi kata untuk memuaskan dahaganya. Semalam tidak ada yang memuaskanku, malah defenisi cinta menye-menye ala remaja-remaja menye-menye yang berhasil membuatku senyum-senyum sendiri. Tetapi setelah kupikir-pikir lagi, defenisi cinta dari kaum bucin itu terlalu dilebih-lebihkan. Misalnya saja, mana mungkin pada pandangan pertama kita sudah bisa mengetahui bahwa dialah sang cinta sejati, terus mana mungkin juga tiba-tiba kita rela saja memberikan segalanya kepada orang yang baru saja kita kenal. Jelas itu ajaran sesat. Lebih masuk akal pendapat Plato yang mengatakan bahwa cinta timbul dari proses bertahap yang bisa dimulai dari apresiasi kecantikan fisik yang tampak secara indrawi, kemudian memunculkan ketertarikan yang cenderung pada nafsu dan birahi. Walaupun ada unsur vulgarnya diujung tetapi jujur. Cinta dan nafsu tidak bisa dipisahkan. Dan bertahap, itu kuncinya.

Masih di pagi ini sekonyong-konyong kemudian aku sudah seperti orang gila mengamati seekor serangga yang tiba-tiba menarik perhatianku. Sepertinya ia sedang kebingungan. Bagaimana tidak, sudah jelas ternganga pintu keluar di depan matanya dia malah memilih berjalan ke arah dinding dan terbentur, anehnya lagi sejauh pengetahuanku sebangsa dia ditakdirkan bisa memanjat dinding tapi dia malah tidak memanjatnya, lebih memilih memutar badan lalu berjalan ke arah berlawanan dan lagi dia menabrak dinding.

Hewan diciptakan memiliki insting dan bertindak mengikuti naluri, ada apa denganmu kawan? Kemana instingmu? tidak mungkin tanpa sebuah masalah yang besar hal ini bisa terjadi padamu. Apa kau juga sedang jatuh cinta?

Aku terus mengamatinya sambil menyeruput segelas kopi pagi ditemani sepotong roti panggang yg ditaburi daun peterseli kesukaanku, tentunya bukan aku yang menyiapkannya, adalah Ibu. Sangat nikmat. Aku berandai-andai jika tercipta sebagai si serangga itu tentunya aku tidak bisa menikmati hidangan ini.

Inginku memberimu nama tapi sepertinya percuma. Sebangsamu sangat mirip, mustahil untuk dibedakan. Andai nanti kita bertemu lagi aku tidak akan mengenalimu. Walau kau sangat berjasa menemani sarapanku pagi ini dan mengingatkanku betapa berlebihnya aku dibanding engkau, tapi aku hanya bisa mengucapkan terimakasih tanpa memberimu nama.

Tunggu, mengapa sekarang kau diam? Si serangga sepertinya sedang berpikir atau lebih tepatnya sedang menangkap sebuah sinyal, tanduknya yang ramping dan panjang bergerak gerak kesana-kesini. Aku mendekat untuk mengamati, kepalanya sekarang juga ikut bergerak kekiri dan kekanan, kemudian secepat kilat tiba-tiba dia berlari berbelok ke arah pintu keluar, sangat cepat dan bersemangat. Si serangga sepertinya sudah menemukan solusi dari permasalahannya, semoga saja.

“Jom, keluarlah, ayo kita berangkat…!”.

Budi sepagi ini sudah datang ke rumahku, kita punya janji untuk pergi ke bukit kalimuntiang untuk berpetualang, dia janji memperkenalkanku dengan buah kalimuntiang asli dari bukit kalimuntiang. Katanya rasanya manis mirip Strawberry dan ketika kutanya apakah dia pernah memakan buah strawberry dia menggeleng. Strawberry tidak bisa tumbuh di daerah kami. Hera, sekilas aku mendengar suaranya, apa dia juga ikut? Kalau ia aku harus mandi dulu berarti, dia selalu protes jika ada yang bau badan, dia akan terus mengomel sepanjang perjalanan, bisa-bisa moodku hancur.

Kata Budi tidak perlu membawa bekal, jadi aku hanya membawa sebotol air minum saja dan berpakaian seadanya.

“Hera, kupikir hanya berhalusinasi mendengar suaramu tapi ternyata kamu beneran ada, Budi mengajakmu?”.

“Sebenarnya tidak diajak Jom tetapi dimanfaatkan”.

“Jangan bicara begitu, ini pertama kalinya Jom masuk hutan berpetualang bersama kita, saya hanya mencoba memberi pelayanan terbaik. Budi kemudian menimpali”.

“Maksudnya apa sih?”. Tingkah mereka membuatku penasaran.

“Aku disuruh masak Jom. Makanya kalian tidak bawa bekal masing-masing kan?”.

“Kamu tau gulai pakis kan Jom? Yang pakai cabe ijo”.

“Tau, Ibu sering menyuguhkannya dibulan puasa”.

“Nah, kamu belum coba gulai pakis buatan Hera kan? Gila Jom, terenak sedunia”.

“Jadi kau mengajak Hera cuma karena itu?”.

“Sekarang kamu mengerti kan Jom, aku tidak diajak tetapi dimanfaatkan”.

“Kalau merasa terpaksa kenapa kamu mau Hera? Budi kan bukan siapa-siapa kamu, lebih gampang menolaknya”.

“Hera itu punya perasaan terpendam padaku Jom, dia sebenarnya senang tapi malu mengungkapkannya, gengsi. Benar begitu kan beb?”.

“Budi, ini masih pagi, jangan bikin aku mual. Kamu belum aja liat tampang memelasnya Jom, seperti perangai kucing garong yang lagi ada maunya, aku tak kuasa menolaknya”.

“Masak sih, aku jadi setengah hati gini, ngk enak”.

“Tenang Jom, tidak apa-apa jangan terlalu serius, aku ini kan perempuan, perempuan kodratnya senang melayani, apalagi sahabat-sahabat sendiri, lagian sudah lama tidak olahraga, menghirup udara segar dari sumbernya”. Aku tidak yakin Hera ikhlas berkata seperti itu, terdengar dari intonasinya yang tak biasa, lebih ke arah ngeledek.

“Ngomong-ngomong anak kota sepertimu apa tidak takut masuk ke hutan? Nanti kamu diculik orang bunian dibawa ke negeri mereka tak bisa kembali, kalau pun kembali kau sudah tidak berada di zaman sekarang melainkan jauh kemasa depan”.

“Aku belum pernah, jadi tidak tau. Lagian aku bukan anak kecil yang bisa kamu takut-takuti dengan mitos seperti itu Hera. Rasa penasaranku terhadap buah kalimuntiang yang dibangga-banggakan Budi kemaren lebih menyita pikiranku ketimbang rasa takut. Awas kau Bud, kalau buahnya tidak ada kulempar kau dari atas bukit nanti. Kugelindingkan kau ke bawah”.

“Ada, pasti ada, ini sedang musimnya, tenang Jombi”.

Sebenarnya sudah hampir jam tujuh pagi, tapi embun masih terasa menusuk tulang, dingin, cahaya matahari belum terlalu sakti untuk menembus barikade kondensasi ini. Budi menyarankan kami untuk berjalan cepat dan itu cukup membantu.

Kami melewati jalan-jalan setapak, pematang sawah yang lebarnya hanya cukup sebadan orang dewasa sehingga harus berjalan saling beriringan, sensasi kaki terkena rumput basah, menghindari genangan air kotor bekas kubangan kerbau, hingga harus bertelanjang kaki menyebrangi jembatan bambu licin. Semakin jauh kami berjalan semakin sedikit rumah warga yang terlihat, hingga rumah terakhir yang terlihat adalah rumah yang begitu reot, lebih reot daripada rumahku. dinding tadirnya yang sudah ditambal sana-sini, serta panggungnya yang sudah miring seperti ingin mencium tanah. Aku mengamati sambil bertanya-tanya apa masih ada penghuninya?

“Itu rumah Maidang”. Seketika aku menoleh kaget kearah Budi. Indera pendengarku yang menangkap kata Maidang mengirim respon lebih cepat dari pada biasanya ke otak dalam bentuk impulse listrik pun dengan daya yang lebih tinggi dari biasanya. Otakkupun langsung tanpa jeda mencari-cari informasi itu ke dalam memori alam bawah sadar sekalipun. Kemudian informasi itu muncul kepermukaan. Tentu saja aku pernah mendengar kata Maidang, di dalam mimpi waktu itu.

“Maidang? Itu nama orang? Aku mencoba mencari informasi lain dari Budi”.

“Bukan Jom, itu panggilan untuk perempuan tertua disuatu suku. Asal katakanya dari Amai Gadang artinya Ibu tertua, Amai Gadang disingkat jadi Maidang.

“Nama aslinya?”.

“Nama aslinya aku tidak tau, coba saja kau tanya sendiri”.

“Baik, sekalian ku minta nomor whatsapp nya ya. Dasar Budi sableng”.

Entah mengapa bagi Budi dan Hera biasa saja tapi bagiku rumah Maidang itu terkesan menyeramkan, ditambah lagi ada aroma-aroma menyan tapi lebih pekat. Jika berjalan sendirian di malam hari melewati rumah itu aku pasti memilih lari.

“Maidang itu sakti, pemilik ilmu hitam”.

“Kekuatannya apa Bud? Bisa terbang?”.

“Berubah jadi harimau, begitu kata orang-orang. Dia bisa mencabik-cabik apapun yang tidak disukainya. Dan dia bisa pindah dari satu tempat ke tempat lain dalam hitungan sepersekian detik saja. Satu lagi dan kau benar, dia bisa terbang”.

“Wawwwwww, emejing! Trus kalian percaya? Eh, terus Sebelum berubah jadi harimau ada gerakan-gerakan khususnya dulu nggak? Seperti kamen rider”.

“Bangsat!! Kau pikir pembela kebenaran, seharusnya kau takut mendengarnya Jom”.

“Ya..karena kulihat kau dan Hera biasa saja tadi lewat di depan rumahnya, jadi aku juga biasa saja. Ini seperti separo becanda kedengarannya bagiku. Tidak masuk akal”.

“Terus harus bagaimana Jom? Ya kami memang sudah terbiasa, bukan rahasia lagi, dari kecil sudah sering mendengar hal-hal seperti itu, jadinya percaya tidak percaya. Yang penting jangan ikut-ikut saja, ilmu hitam itu banyak tumbalnya”. Dipermukaan aku menolak, tapi di dalam tubuhku sebenarnya bergetar, hal-hal mistis ibarat misteri yang bermagnet tanpa kutub yang jelas, menarikmu dari segala sisi, engkau mendekat dalam sebenarnya takut mendekat, akan tetapi kaki seakan tak bisa berhenti mendekat. 

Kami mulai memasuki sebenarnya hutan, tak ada lagi rumah warga, suara-suara hewan yang biasanya terdengar dari kejauhan sekarang begitu jelas, sangat syahdu menenangkan pikiran. ASMR.

“Jom, selain memikirkan kebahagiaan Kembang Sepatu apalagi yang membuatmu gundah?”.

“Hah? Apa kamu mulai tertarik dengan isi otakku?”. Hera mencoba mengubah arah obrolan kami agar tidak terlalu larut dalam cerita mistis tadi.

“Mungkin, seru aja, tidak umum Jom, memahami isi pikiranmu membuatku jadi bosan dengan hal-hal biasa. Receh!”.

“Tadi pagi sembari sarapan aku berdialektika dengan Kecoak”.

Lihat selengkapnya