Hari ini Sabai terlihat lagi di perpustakaan balai desa, aku ingin menghampiri tapi dia terlihat sedang berkonsentrasi menulis sesuatu, dia mengambil tempat di ujung ruangan mungkin karena takut menjadi pusat perhatian, aku pun takut menganggunya. Aku putuskan mencari tempat duduk yang agak jauh dan walaupun aku tau buku yang kupegang tak kan sanggup mengalihkan namun tetap kubentangkan seolah kubaca padahal tidak. Mataku tak bisa lepas dari perempuan itu. Sabai dengan keningnya yang mengkerut, sesekali kerutan itu terangkat keatas. Bibirnya yang terkadang terbuka lalu tiba-tiba dilipat, mimik wajahnya berubah-ubah begitu cepat. Ada apa denganmu? Dia seakan sekuat tenaga menekan ballpoint itu ke kertas dan andai saja aku lebih dekat aku yakin bisa mendengar gerutu giginya.
Sekarang dia bersandar ke dinding, tangan kirinya mengusap-ngusap kedua matanya yang tertutup, apa ia menangis? Aku harus kesana, namun baru aku berdiri, Sabai segera beranjak sambil merobek, meremas kertas tulisannya tadi dan membuangnya ke dalam kotak sampah. Ia berlalu.
Perpustakaan ini sepi, hanya ada 1, 2 orang itupun dengan buku dan headsetnya masing-masing, jadi tidak ada yang peduli mengapa aku memungut kepingan kertas di dalam kotak sampah. Aku kembali ketempat duduk semula, dan berusaha menyatukan kepingan-kepingan itu, jantungku berdebar hebat. Aku tarik nafas panjang kemudian mulai membacanya.
Kehampaan, kekosongan, apa yang bisa kita dapatkan dari dua hal tersebut?
Tidak ada!
Sama seperti sungai yang mengalir tenang, udara yang menyentuh lembut, bintang yang terang sepanjang malam, lalu besoknya matahari yang kembali bersinar sepanjang siang.
Begitu terus berulang dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, sampai sebagian dari kita bosan dan menyadari ini adalah kehampaan, kekosongan yang sama.
Ini adalah void, dimana tidak akan terjadi apa-apa, tidak akan menjadi apa-apa, hening, konstan, stabil.
Aku tidak tahan hidup seperti ini.
Lalu, apa yang engkau harapkan?
Lecutan Harmonisasi! aku ingin bernyanyi seriosa di atas genteng yang tinggi tanpa siapapun melarang, aku ingin merancang nada yang belum pernah didengar oleh siapapun, aku ingin bertikai dengan manusia-manusia bermuka dua yang menjijikkan tanpa ada yang membela mereka, bisakah mereka hilang saja dari atas dunia ini?
Aku ingin berlari sekencang-kencangnya tanpa takut terjatuh.
Aku ingin pergi kemana saja ke ujung dunia sekalipun tanpa ada yang melarang.
Aku ingin melakukan apapun yang aku mau.
Lantas, mengapa tidak kau lakukan?
Kau bertanya seolah kau tidak tahu segalanya, apa kau tuli? Buta? aku terikat dengan sesuatu yang tidak aku mengerti. Hidupku dikendalikan olehnya, semua diputuskan olehnya, patut maka kerjakan,tidak patut maka jangan sekali-kali dikerjakan.
Aku hanya merasa sedikit lebih baik di pagi hari, berdiri di depan jendela, menghirup udara yang belum terkontaminasi dosa manusia, dan itu selalu bisa melemparku jauh kemasa lalu, sambil menyisir rambutku yang basah, mengenang hidupku sebelumnya yang penuh kebahagiaan.
Tulisan apa ini? Aku berulang-ulang membacanya dari atas ke bawah, mencoba memilah-milah per kata agar setiap makna tidak ada yang terlewatkan.
Aku hampir tidak percaya dengan apa yang sedikit kupahami, namun aku ingat ketika pertama kali melihat Sabai, mata yang kosong, tatapan hampa, ya inilah sedikit jawabannya. Aku menarik kesimpulan bahwa dia memang semisterius itu. Tapi Sabai butuh teman. Sabai butuh orang yang mengerti dia.
“Jom, kau lihat manggis muda ini” Budi sedang memegang buah manggis muda yang entah dimana ia pungut.
“Mau kau makan Bud? Masih bergetah gitu.”
“Tidaklah Jombi! Manggis ini jika kau lempar keatap rumah Sabai bisa bikin bocor!”
“Masa? Emang atap rumah Sabai sudah sekeropos itu?”
“Kepalamu Jom, kepalamu yang bocor dilempar balik bapaknya pakai ulekan sambal, wkwkwkwkwk.”
“Wahh, sangat lucu sekali bapak ini, jadi gemess ... .”
Budi dengan lawakan yang cukup cerdas mencairkan suasana malam ini di rumah Hera, kami bertiga seperti biasa belajar bersama sehabis magrib, bagaimanapun bertiga lebih baik dari pada sendiri. Hera bisa dengan secepat kilat mengerjakan PR apalagi Matematika, pun saya dan Budi bisa dengan secepat kilat pula menconteknya, untunglah Hera bukan tipikal anak pintar yang pelit atau idealis. Selalu tak ada diskusi mengenai PR, untuk apa membantah anak juara umum 2 tahun berturut-turut. Lebih baik diam dan menurut saja, toh selama ini PR kami tak pernah menyentuh angka 90, selalu 100!