Supermoon

Adel Romanza
Chapter #13

Siapa Aku?

“Desi ... kesini kau? Pulaaaang! Sudah senja, nanti keinjak anak iblis kakimu pincang! mau?”

“Tidak mau Ibu?”

“Makanya pulang! Sudah sering ibu ingatkan tapi masih saja susah begini.” Aku terhenti sejenak sebelum masuk rumah karena mendengar teriakan itu. Kenapa orang-orang disini suka mengomel-ngomel mendidik anaknya? Omelan dengan suara cempreng yang bisa terdengar bahkan jauh sekali. Menjelang malam seperti ini misalnya, banyak ibu-ibu yang kesana kemari mencari anak-anaknya untuk disuruh pulang. Tak jarang ada yang membawa sapu lidi, rotan atau bilah bambu, membuat anak-anak pada pontang panting lari terbirit-birit.

Konon, senja adalah ibarat pintu pembebasan bagi anak-anak iblis untuk berkeliaran. Energi untuk bermain yang tertunda sedari tadi harus segera dihabiskan. Berbanding terbalik dengan anak-anak manusia yang harus segera masuk ke dalam rumah, menyudahi berlari-larian kesana kemari, ada waktunya masing-masing, kita tidak boleh saling mengganggu satu sama lain. Harus saling menghargai. Begitulah kepercayaan turun-temurun desa ini.

Aku tertawa terkekeh mendengarnya, bukan karena lucu, tapi lebih kepada mengapa hal yang jauh dari kata masuk akal itu bisa sangat dipercayai oleh orang-orang? Bagaimana bisa kita menginjak anak iblis yang hidup di dimensi yang berbeda. Masuk kerumah kemudian kuceritakan kepada ayah yang sedang duduk-duduk ditengah rumah.

“Itu namanya sombong Jom, tidak boleh begitu. Apa yang kamu ketahui tentang dunia ghaib?”

“Tidak ada kecuali sedikit Ayah.”

“Nah, sebaiknya jangan mencela hal yang tidak kamu ketahui pasti.”

“Iya Ayah. Ayah beberapa waktu belakangan ini aku sering mimpi buruk, aku… .” Belum selesai menjelaskan detail mimpiku ke ayah, sesosok perempuan tua muncul dari belakang ayah dan seketika aku terpaku.

“Maidang!”

“Uhuk ... uhuk ... .” Badan ringkih bungkuk, urat-urat tangan yang terlihat sangat kendor, hitam bola mata yang sudah memudar. Tapi langkah kakinya sama sekali tidak ragu. Pun tatapannya, sangat ambisius dan bernafsu. 

“Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, kata-kata klasik, kuno, bosan bukan kepalang mendengarnya, pasaran, tapi sayangnya selalu benar, diucapkan jika memang harus diucapkan. Metasael, lihatlah dirimu, mata itu, persis seperti mata Ayahmu dulu, bersemangat, selalu terlihat haus, dan...mmm...penuh cinta, hahaha uhuk..uhuk..uhuk... Cinta, titik lemah yang mudah diperdaya. Tapi bedanya kau utuh sementara Ayahmu cacat!”

“Cacat?”

“Wow, Haidar, uhuk ... uhukk ... apakah Metasael belum sesiap itu sehingga semua masih tertutup rapat di kepalamu? Ucapkanlah Haidar, beritahu rupamu. Uhuk ... uhuk ... .”

“Kita sudah sepakat akan hal itu. Jom, akan mengetahui jika harus mengetahui. Tidak akan kututup-tutupi, itulah tujuanku membawanya pulang kesini. Tapi jangan harap dia akan sama denganku. Jom tidak akan kubiarkan menjadi apa yang kau mau.”

“Itu artinya kau tidak akan ada penerus? ahaaaaa ... perlukah kujelaskan lagi konsekuensinya, Haidar?”

“Konsekuensi, ya, konsekuensi, aku tidak pernah lupa Maidang.”

“Bagus! Uhuk ... uhuk ... sekali-sekali bawa dia kerumahku, tempatmu dilahirkan kembali.” Maidang kemudian berlalu, diakhiri dengan bisikannya ke Ayah yang sangat jelas kudengar, menyuruh ayah membawaku kegubuk reot itu, tempat ayah dilahirkan kembali? Apa maksudnya?

“Masuk Jom, bersihkan tubuhmu, Ibu sudah siapkan air panas.” Aku menurut saja perintah ibu. Mungkin setelah aku mandi mereka akan memanggilku untuk membicarakan semuanya. Sesuatu yang penting untukku. Apakah ini sudah hampir menuju puncak dari teka-teki tentang Ayahku? Atau malah baru semenjana?

Menguak tentang Ayah tentu saja juga menguak tentang diriku. Jelas aku ini keturunannya, darah dagingnya. Selesai mandi segera aku menyusul ke ruang tengah.

“Apa kamu sudah siap mendengarnya?” Belum aku duduk, ibu sudah bertanya sesuatu yang benar-benar kuharapkan.

“Ayo, kesini duduk di samping ibu.” Diwajah nya tersirat kesedihan, aku mengiyakan kemudian duduk di sampingnya. Sementara ayah terlihat tetap tenang.

Lihat selengkapnya