Supermoon

Adel Romanza
Chapter #14

Tak Lagi Sama

Aljabar! Kenapa harus ada pelajaran tambahan sore ini, aku mengutuk di dalam hati. Untuk mengejar materi supaya nanti bisa lebih fokus ke ujian akhir, begitu kata wali kelas. Jelas Ini hanya untuk berusaha terlihat idealis saja, begitu gumamku, toh nanti juga ujian akhirnya bersifat gotong-royong walaupun terselubung. Kali ini aku bahkan tidak berminat mencari tau dulu untuk apa kita harus belajar Aljabar. Siapa sih yang menciptakan simbol-simbol itu? Keriting seperti bulu kaki, dan kami dipaksa harus mengerti aturan-aturan baku untuk memanipulasi bulu-bulu itu.

Aku berharap akan ada rotasi guru, namun kenyataannya tidak, gurunya tetap sama, masih seonggok makhluk kekar dengan kumis frontal di atas bibirnya, masih dia yang mengusirku waktu itu. Mengapa hawa negatif saja yang kutangkap. Lihatlah penampakan itu di depan kelas, rambut beliau yang disisir ke belakang ala Elvis Presley. Kemeja rapi licin berwarna cerah, norak! dipadukan dengan celana bahan yang menggantung di mata kaki karena sabuk yang berposisi terlalu keatas. Terpaksa! Karena terhalang perut buncit. Si paling buncit kekar! Kebencian ini tentu bukan salah beliau, tapi salahku sepenuhnya. Pikiranku belum bisa jauh-jauh dari ayah, ibu dan diriku sendiri. Atau hawa kebencian ini apakah karena pengaruh iblis di tubuhku yang diceritakan ayah tadi malam? Kurasakan semakin hari semakin sering muncul.

Aku yakin Hera dari tadi memperhatikanku. Tentu, makhluk berbudi halus itu sangat peduli padaku. Aku ingin pelajaran sore ini cepat berlalu, sia-sia karena jiwaku tidak disini.

Hera melemparku dengan secarik kertas yang diremuk bulatkan. Hampir ketahuan si Bapak. Kupikir sampah, ingin kubuang tapi Hera memberi isyarat untuk membukanya. "Nanti pulang bareng, aku tidak bawa sepeda", begitu isinya.

Huh!! Hera, aku tak punya tenaga untuk mengayuh, lunglai segala rupa ragaku. Kukira dia akan manyun dengan balasan pesanku, tapi tidak! Si cantik itu malah memberi isyarat pulang berjalan kaki dengan jari-jarinya. Senyumnya yang indah, berjajar bersama gigi-gigi putih itu, membuat hawa negatif berbentuk gumpalan kimia di otakku perlahan menguap. Enyahlah!

“Aku suka cowok yang wangi, tidak sepertimu, berdiri di sebelahmu yang kudapatkan hanyalah kehampaan. Sekonyong-konyong kau memakai parfum hanya dikala merayuku saat merajuk kala itu. tidak tulus!”. 

“HAHAHAHA....Hera, wangi parfum itu jahat, menyembunyikan apa yang sebenarnya harus tercium. Kau suka kepalsuan Hera, sama dengan orang-orang kebanyakan”.

Lihat selengkapnya