“Jombi ... !!!”
“Sial kau Bud, nanti kalau aku jadi Jombi beneran kau kumakan pertama kali.”
“Hahahaha ... .”
“Kehidupan cepat berputar bung!”
“Maksud?”
“Ya...sekarang aku yang butuh tumpangan.”
“Memangnya kemana sepedamu? Kau jual?”
“Rantainya putus. Kusambung pakai karet dapur terlalu elastis, sehingga tidak terjadi kesesuaian antara gaya kayuh dengan ketahanan objek kayuh.”
“Yaelah lebay, padahal kau tinggal telpon bisa kujemput Bud, jadi kau tak perlu jalan sejauh ini, lumayan kan bisa menghemat lemakmu yang tak seberapa.”
“Nah, itu juga kendalaku di pagi ini bung, provider tidak menyediakan kuotalater sehingga komunikasi yang diinginkan jauh dari kata terealisasi.”
“Bangsat! Bilang aja tanggal tua.”
“Hahahaha ... .”
“Berangkat!”
“Jom, andai Sabai bersekolah di tempat yang sama aku tentu tidak bisa numpang ya, kau sudah pasti setiap hari menjemputnya, berboncengan selalu, bersenda gurau, kasian si Samsul ini hanya bisa diam saja, iri, pasilitas tanpa tanda jasa.”
“Bud, memangnya kau tau apa? Sudah sering kubilang, aku dan Sabai tidak memiliki hubungan spesial, hanya berteman saja. Lagian kau juga menyukainya kan? Aku tak sanggup melihatmu patah hati.”
“Ahhh, kau jangan berpikir seperti itu, kalau dua insan sudah saling mencintai kenapa harus ada penghalang lagi. Lagian kau ini tampan, cocok dengan Sabai yang cantik jelita. Kenapa kau lurus? Belok kiri Jombi, kita lewati rumah Sabai.”
“Tidak kali ini Bud.”
“Kenapa? Kalian sedang berantem? Huaaaaaa ... Ohhhh dunia, tak ada kegalauan yang melebihi ketiadaan bertegur sapa dengan kekasihku, luluhkanlah hatinya wahai dunia. Aku sungguh mencintainya!”
“Bangsattt! Budi Bangsattt! Sudah mepet, nanti kita telat. Bagaimana kalau kau kuceburkan ke sawah Bud. Mulutmu perlu diisi lumpur kotoran kerbau biar setara antara bau dan suaranya.”
“Hahahaha ...” Aku hanya terkadang malu bertemu dengan Sabai, apalagi jika itu bersama orang lain, kalaupun ingin bertemu aku lebih memilih sendiri saja menemuinya, itu lebih pas dan obrolan pun pasti akan lebih berisi. Sudah terlihat jelas kalau Sabai tipikal orang yang tidak suka keramaian.
“Sepertinya sekarang dan waktu-waktu yang akan datang aku bakal sering di cuekin, ada yang semakin akrab dengan si paling misterius. Dia merebut waktu sore berdialektikaku kemaren.” Aku sedang berdiri di pojok kelas sambil membaca buku Dunia Shopie karangan Joestein Gaarder. Aku butuh pengalihan issue, dialog dengan ayah tadi malam akan segera membuatku tidak waras jika tidak dialihkan. Kebetulan aku menemukan novel ini di tumpukan buku yang belum sempat kurapikan semenjak pindah tadi pagi. Ingat belum selesai membacanya, jadi kubawa saja ke sekolah. Banyak pemahaman-pemahaman ganjil dengan kata-kata berat sehingga butuh konsentrasi tinggi untuk memahaminya, sehingga aku tidak sadar Hera sudah berdiri di sebelahku sejak tadi. Misalnya saja bagaimana mungkin pada zaman itu rambut lurus dianggap sebagai mimpi buruk bagi seorang perempuan dan berpikir itu adalah sebuah kutukan. Rambutku lurus, apakah aku terlahir cacat? sebuah standar kecantikan yang bertolak belakang dengan zaman sekarang. Siapakah yang menciptakan standar itu?
“Halooo, namaku Hera dan aku bukan orang-orangan sawah!” Kalimat kedua dari Hera serempak membuat kedua telapak tanganku menutup buku yang sedang kubaca. Aku menoleh setengah kesal dan merespon sekenanya.
“Bagaimana kalau aku saja yang jadi orang-orangan sawahnya?”
“Baik, maaf seharusnya aku tidak mengganggumu, aku lebih baik pergi sekarang.” Hera benar-benar pergi menjauhiku, seperti gadis dalam perundungan. Seketika aku sadar sudah membuat kesalahan dan memutuskan mengejarnya.
“Hera yang kukenal akan jawab begini, baiklah aku yang jadi padinya. Kemana kecentilanmu anak muda? Apakah sudah bukan buatku lagi?”
“Mmm ... semenjak kamu tidak membutuhkanku lagi kecentilan itu kusimpan untuk orang kota yang datang selanjutnya.”
“Kuharap orang kota selanjutnya itu tak mengecewakanmu seperti aku. Ya setidaknya dia lebih pintar mungkin. Hahaha, ayolah Hera, jangan berpikir macam-macam, bagaimana kalau kutraktir mi instan pedas level 10?”