“Jom.”
“Sabai.” Pagi ini Sabai ternyata menungguku di depan rumahnya, dia dengan penampilan seperti sudah siap untuk meninggalkan rumah.
“Ayo Jom.”
“Kemana?”
“Hah...baru tadi malam kau bilang bersedia membantuku!”
“Maaf Sabai, aku tidak bisa, aku harus sekolah.”
“Baru tadi malam kau bilang bersedia membantuku Jom.”
“Iya, tapi tidak di waktu aku sekolah Sabai.”
“Ahhh..kau kan bisa bolos Jom, sekali-sekali, tidak akan berpengaruh apa-apa juga.”
“Aku pamit ke orang tuaku untuk pergi kesekolah bukan untuk pergi denganmu, jika mau kubantu, nanti setelah aku pulang sekolah.”
“Terserahmu Jom! Jangan salahkan aku jika tidak mau berbagi cerita lagi denganmu.” Sabai berlalu, berbalik masuk kerumahnya, dia membanting pintu tanda kecewa. Aku tidak marah, malah kasihan, Sabai benar-benar seperti tidak punya siapa-siapa. Aku kemudian kembali mengayuh sepedaku. Walaupun minim prestasi tapi menghianati kepercayaan orang tua tidak ada dalam kamusku.
Sekilas aku melihat sebuah Volvo vintage parkir di pekarangan rumah Sabai. Mobil classic berharga tinggi, berwarna biru tua, bersih dan terlihat terawat, pasti bukan orang sembarangan yang memiliki mobil itu. Siapa dia? Ahh bukan urusanku, namun baru aku mau mengayuh sepeda lagi sesosok bapak-bapak berpenampilan rapi muncul dari jendela rumah Sabai kemudian menatapku dengan tajam. Aku coba tidak mengubris tatapannya, sungguh tidak nyaman, kuputuskan segera pergi secepatnya.
PTSD
“Jom, hai..” Ini bukannya bapak-bapak yang tadi pagi? Aku bertanya dalam hati.
“Om siapa? Kok tau namaku?” Aku pura-pura kaget, namun dalam hati sangat gugup, tidak salah lagi, yang menegurku adalah si bapak yang tadi pagi kulihat di rumah Sabai.
“Saya Papanya Sabai, maaf bisa minta waktumu sebentar.”
“Ooo. bisa om. Dimana?” Aku berusaha terlihat sesantai mungkin. Ada apa gerangan? Apa Sabai bercerita yang tidak-tidak karena kesal kepadaku? Atau dia mau mengajakku berbisnis? Ah tidak mungkin, itu terlalu mengada-ngada.
“Di dalam mobil saja, ayo masuk.” Aku menurut saja bagai kerbau sawah yang diikat tali tambang dihidungnya, atau seperti cowok bucin yang jatuh cinta kepada cewek dominan atau lagi seperti petugas partai kepada ketua partainya.
Adalah rasa penasaran yang mengenyampingkan segala kemungkinan lain yang bisa saja terjadi, aku mau diculik misalnya, tapi tidak mungkin. Volvo series 200 dengan jok kulit super nyaman, apalagi terdengar dari suaranya mobil ini dilengkapi mesin turbo modifikasi, rangkanya kutaksir keluaran sekitar tahun 80 an yang sudah di repaint menggunakan cat premium jenis Spies Hecker, aku tau karena suka membaca majalah otomotif. Tentu mobil ini bahkan lebih mahal dari kedua ginjalku.
Kali ini si bapak dengan pakaian yang lebih santai, kaos oblong putih polos dipadukan chinos semata kaki. Namun tetap elegan berkat potongan rambut french crop ala barbershop mahal. Walaupun dipenuhi uban, namun dilihat dari wajahnya masih terlihat sangat muda, glowing! Ditambah jam tangan bermerk yang menempel ditangannya dan alas kaki sneakers mahal brand Jerman tiga strip. Kutaksir umurnya tidak lebih dari 45 tahun an.
“Maaf, Om mau membicarakan apa? Apa saya punya salah?”
“Tidak..tidak..hanya sebentar, hal kecil tapi penting!” Dari logat dan tutur katanya terlihat terang beliau bukan orang kampung ini, berpendidikan tinggi dan ringkas.
“Saya hanya sebulan sekali pulang, itupun cuma 1, 2 hari. Jadi sering hal-hal penting terlewatkan begitu saja termasuk masalah ini.”
“Masalah apa om?”
“Tadi orang di rumah menceritakan bahwa Sabai memiliki teman laki-laki. Sesering apa kalian bertemu?” Aku tidak melihat tampang agamis penganut kepercayaan Pacaran adalah Haram dari si Bapak, tapi dari caranya menginterogasi menyiratkan beliau orang tua yang sangat protektif.
“Ya...lumayan, memangnya kenapa om? Apa Sabai tidak boleh memiliki teman? Hanya sebatas teman kok, tidak lebih. Om tidak perlu khawatir.”
“Saya tidak mengkhawatirkan anak saya, dia perempuan tangguh. Justru saya mengkhawatirkan kamu.” Aku mengernyitkan dahi dan sekilas aku pasti terlihat setua si Bapak dengan lipatan kening ini. Apa yang menyebabkan beliau mengkhawatirkan aku.
“Maksud om?”
“Begini nak Jom, biar cepat saya to the point saja. Sabai itu terdiagnosis PTSD.”
PTSD? Istilah yang asing ditelingaku.
“Apa itu om?”
“Posttraumatic Stress Disorder. Dia mengalami gangguan disosiatif, Gangguan mental golongan akut. Faktor masa lalu, kau belum pernah mendengar tentang penyakit itu?”
“Tidak.” Aku menggeleng mantap. selama ini sama sekali aku belum pernah bersentuhan dengan ilmu kejiwaan.
“Kalau boleh, bisa sedikit om jelaskan?”
“Tidak masalah, tapi kuharap kau tidak terkejut, dan jika kubertanya, tolong jawab dengan jujur.”
“Baik om.”
“Penderita dengan gangguan ini selalu berhalusinasi menciptakan dunianya sendiri, dunia khayalannya. Keluar dari realitas hidupnya dimana pemikiran, identitas, kesadaran dan memori tidak berkaitan satu sama lain. Walaupun akhir-akhir ini keadaan Sabai sudah sangat jauh lebih baik, tapi tetap saja berbahaya. Apa saja yang telah ia ceritakan padamu?”
Aku terkesiap, namun tetap berusaha menguasai keadaan.
“Tidak banyak om, Sabai suka membaca dan saya juga, bahkan kami berkenalan untuk pertama kalinya di perpustakaan, kami lebih sering membahas apa yang kami baca, saling bertukar pikiran.”
“Selain itu?”
“Ya....tidak ada.” Aku tidak mungkin serta merta mengucapkan segala macam hal, apa yang sebenarnya orang ini harapkan dariku.
“Jangan bohong, saya bukan ayah kandungnya, ibunya gantung diri, perkumpulan aneh, apalagi? Dia menceritakan itu padamu kan?” Aku tidak bisa untuk tidak mengangguk, ada apa ini? Semua tiba-tiba jadi membingungkan.
“Kau tau? Dia mengarangnya! Dan kau bukan orang pertama. Dia selalu memilih orang yang tepat, mengajaknya masuk kedunianya dan meracuni dengan segala cerita-cerita fiktif. Aku sebagai Ayahnya minta maaf, sebaiknya kamu jangan bertemu dengannya lagi, demi kebaikanmu.”
“Tapi om.”
“Saya seorang dokter, sengaja menekuni ilmu psikiatri untuk bisa menyembuhkan anakku, tapi sampai sekarang belum berhasil 100%. Lalu kamu pikir kamu bisa? Aku sengaja membawanya tinggal di desa terpencil seperti ini, sepi, jarang penduduk, menyekolahkannya di rumah agar dia tidak mempunyai teman, agar dia tidak menyakiti orang lain.”
“Terima kasih om sudah memberi tau dan memperingatkanku, tapi aku rasa Sabai tetap butuh seseorang untuk berbagi.” Aku tetap mencoba membantah walau pasti terdengar sangat bodoh, tentu saja, aku yang masih SMA mana bisa mengalahkan ilmu pengetahuan seorang dokter.
“Jangan keras kepala, perempuan yang sekarang menjaga Sabai, itu bukan ibu kandungnya.”
“Kalau itu saya sudah menduganya om, hubungan mereka terlihat tanpa chemistri. Berarti benar?”
“Iya, tapi bukan gantung diri.”
“Lalu?”
“Dibunuh, dan kuharap kau bisa menebak siapa yang membunuhnya.”