“Jom, apa ini tidak kepagian?”
“Aku takut berpapasan dengan Hera atau Budi, jadi ya...begini..tidak apa-apa kan?”
“Ok. Mau bagaimana lagi, resiko pertemanan backstreet.”
“Pakai mobil?”
“Iya, aku masih tidak suka memberi bahan gibah untuk orang-orang, masuk Jom kali ini aku yang nyetir.”
“Kau bisa?”
“Bisa ... nabrak! Hahaha ....” Mobil mulai melaju pelan, aku mencoba santai walau otakku sembari berfikir pertanyaan-pertanyaan apa yang nanti akan kulontarkan. Tapi Sabai memecah konsentrasiku ditengah-tengah.
“Jom.”
“Mmmmm.”
“Apa kau punya kepercayaan?”
“Hah, tentu.”
“Turun-temurun?”
“Ya..”
“Kebiasaan juga?”
“Apa kau tidak?”
“Huhhh....” Sabai menarik nafas panjang kemudian menghempaskannya sembari menoleh kearahku. Aku belum terlalu bisa menebak kemana maksud arah pembicaraan ini.
“Kuno.”
“Hah ....” Glek. aku tersedak ditengah tegukan minuman soda dingin.
“Jika kau memiliki sebuah kepercayaan dan mendalami kepercayaanmu itu maka pikiranmu akan menjadi terkekang, tidak lagi lepas dan bebas sehingga defenisimu terhadap sesuatu juga akan cepat menemukan hasilnya.” Aku mengulang kata-kata Sabai itu untuk mendapatkan mana yang tepat.
“Darimana kau mendapatkan kata-kata itu Sabai?”
“Dari sebuah bacaan yang diperkuat pengalaman Jom. Lihat saja penduduk kampung ini, mereka memiliki kepercayaan yang sangat kuat secara turun-temurun, adakah yang mempertanyakannya? Tentu tidak dan aku tidak menyukainya.”
“Ya itu betul, tapi mereka rata-rata terlihat bahagia, dimana letak masalahnya?”
“Bahagia dalam kebodohan! hanya mau mempelajari sesuatu yang aman-aman saja, mencangkul, memasak, matematika, Biologi, itu-itu saja dari dulu. Kemudian sok menjadi ahli, membicarakannya seolah-olah itu adalah hal yang luar biasa. Padahal dunia ini luas, penuh misteri, kenapa manusia takut untuk mempelajari ilmu yang menurut mereka tidak bisa diterima akal? Huh...A priori jelas sebuah jebakan! Kau juga menyukainya kan Jom?”
“Kurasa itu terlalu komplek jika penduduk kampung adalah objeknya, kurang tepat Sabai tapi a priori, maksudmu?”
“Ya, seperti yang kujelaskan tadi, sesuatu yang pasti walaupun kau belum mengetahuinya, mempelajarinya hanya akan membuat tingkat kepintaranmu standar. Semua akan tumbuh dengan cara yang sama, tidak berkembang! Bukankah itu sebuah jebakan?”
“Hera pernah mengungkapkan hal yang sama, walaupun dengan bahasa yang lebih sederhana. Lalu apa solusimu?”
“Solusi? kau tanyakan saja kepada Hera? Bukankah menurutmu dia pintar?”
“Hah? Kamu marah? Kamu cemburu?”
“Hahahaha, aku becanda Jom. Seperti yang sudah sering kukatakan, orang-orang akan membencimu jika kau berbeda, apa kau mau jadi berbeda?”
“Kau berbeda Sabai, dan setahuku orang-orang tidak membencimu?”
“Karena aku cantik, jadi termaafkan. Begitu kan kebiasaan diantara kalian. Jika ada hal aneh yang terjadi dirumahku, Aku hanya tinggal berdiri di depan jendela dipagi hari, kemudian memberikan senyuman kepada setiap orang yang lewat, maka semua keanehan yang kalian sangkakan kepadaku akan terlupakan begitu saja. Kau percaya kan?”.
“Tapi tidak bisa dipungkiri kan, kamu senang sekaligus bangga dengan kecantikanmu?”
“Sama sekali tidak Jom! Aku tidak mau terpengaruh dengan hal-hal subjektif. Aku tidak terpengaruh dengan sangkaan apapun dari orang lain.”
“Kalau begitu kenapa kamu tidak mau bergaul dengan orang-orang?”