“Jom, kamu kemaren bolos, kemana?” Lagi, aku memutuskan untuk jalan kaki pulang sekolah hari ini. Walaupun jalanan becek karena habis diguyur hujan lebat, tidak masalah. Perjalanan yang walaupun sebenarnya tidak terlalu jauh ini cukup memberi waktu untuk berfikir. Memikirkan hal-hal campur aduk yang ada dikepala. Kunjungan kerumah Maidang kemaren bukannya membuatku lebih baik malah menambah kusut benang-benang syaraf otakku yang sebelumnya sudah kusut. Tapi Hera membuntutiku dari belakang setelah seharian di sekolah aku tidak menyapanya, tentu dia khawatir. Namun pertanyaan Hera membuatku risih. Rasanya belum waktu yang tepat untuk menceritakan kepadanya atau lebih tepatnya aku belum siap. Dan responku atas pertanyaan itu hanya melempar senyuman dan untungnya Hera mengerti sesuai harapanku.
“Ooo...baiklah, tidak apa-apa Jom. Sebenarnya ada hal penting yang ingin kusampaikan kepadamu.”
“Apa?”
“Mmm... apa mood mu sedang baik? Aku hanya akan menyampaikannya jika moodmu sedang baik.”
“Memangnya aku terlihat cemberut?”
“Tidak, wajahmu itu selalu menyiratkan tampang seorang pemikir, tapi hari ini terlihat lebih serius, kerut keningmu bertambah kira-kira....1,2, 5, 20.”
“Hah...sial...” Bagaimanapun Hera selalu berhasil membalikan moodku 360 derajat. Jadi walaupun waktu berfikirku buyar, kembali kepada ketentuan pasal 1, berdua dengan Hera selalu lebih baik.
“Lalu, hal pentingnya apa?”
“Mmmm...Jom, gara-gara kamu aku akhirnya menamatkan sebuah novel! Ini untuk pertama kalinya aku menamatkan bacaan yang bukan pelajaran sekolah. Rasanya menyenangkan, sepertinya aku sudah menemukan hobi baru. Aku seperti terlahir kembali.”
“Novel? Gara-gara aku?”
“Ya....aku selalu bertanya-tanya kenapa bisa kamu begitu suka membaca. Berat-berat lagi. jadi sebenarnya walaupun bodoh di sekolah wawasanmu jauh diatas kami Jom. Lalu aku memutuskan untuk meniru, membaca apa yang kamu baca, tapi selalu membuatku ngantuk. Jadi kuputuskan untuk memulainya dari hal-hal yang ringan dulu, novel.”
“Aku senang mendengarnya Hera. Novel apa yang sudah kamu baca?”
“Romeo and Juliet.”
“Shakespeare?”
“Yup! Apa kau juga pernah membacanya?”
“Pernah.”
“Bagaimana menurutmu? Romeo so sweet bingits kan. Menurutku dizaman sekarang tidak ada pria yang seperti itu, ganteng, manis, baik…cara dia mencintai Juliet adalah impian semua wanita Jom.”
“Hahahahaha…..! Aku mengeluarkan tawa bernada ledekan.”
“Kenapa kau malah tertawa Jom? Aku akhirnya menamatkan sebuah novel karena mu tapi sama sekali kau tidak menghargainya, sebel!”
“Kamu hanya memakai rasa Hera, cerita seperti itu omong kosong, coba kamu telaah lagi dengan jernih, Romeo dan Juliet itu hanyalah cerita tentang hubungan 3 hari antara gadis 13 tahun dan bocah 16 tahun yang menyebabkan 6 kematian konyol. 3 hari Hera, bagaimana caranya kau rela mati demi orang yang baru kau kenal 3 hari?”
“Cinta sejati Jom!”
“Cinta sejati, apa itu cinta sejati? Bagiku mereka hanya sedang terjebak dalam nafsu sesaat kemudian dengan bodoh mengorbankan segalanya. Jika kau rela mati demi menyelamatkan orang tuamu itu sangat masuk akal bagiku, tapi jika demi laki-laki atau perempuan yang baru kau kenal 3 hari, itu konyol.”
“Jadi menurutmu Novelnya jelek dan aku sia-sia membacanya?”
“Tentu tidak Hera, tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Shakespeare adalah seorang seniman yang sangat jenius. Dia lihai menenggelamkan manusia dalam racikan karyanya yang sempurna, namun sebagai pembaca, mengetahui cara mengambil kesimpulan yang baik dari sebuah karya itu juga penting. Jika aku jadi Romeo, aku tidak akan menenggak racun itu, jika pasanganku mati aku akan memilih tetap hidup untuk mengenang cinta kita. Apalah arti mencintai jika kau sudah mati Hera?”
“Ahhhh…sudah kuduga, selalu tidak asyik membahas hal-hal seperti ini denganmu Jom. Seperti berbicara dengan bapak-bapak 40 tahun, menyebalkan. Aku jadi takut terlalu akrab denganmu tau, bisa-bisa kelak aku tidak memiliki kenangan masa remaja yang baik.” Hera kecewa dengan responku, tapi aku kurang menyadarinya, bukannya merendah, aku malah semakin menjadi-jadi menyerangnya, aku sedang diluar kendali sehingga berusaha keras untuk memenangkan perdebatan.
“Hahahahaha….yang baik menurutmu itu yang seperti apa Hera? Seperti kehidupan remaja dalam sinetron-sinetron? Pacaran di dalam sekolah kemudian berpeluk-pelukan, silahkan coba Hera, paling masuk BK dan jika kamu lakukan itu bagiku kau hanyalah seorang perempuan rendahan.”
“Ya nggak begitu juga Jom. Aku tidak tau apa yang telah terjadi padamu, tapi kata-katamu barusan itu sudah keterlaluan. ahh sudahlah. Aku duluan.” Hera memilih perundungan sebagai jalan dalam rangka protes ketidaksetujuannya dengan pendapatku, aku kemudian mencoba meledeknya lagi sambil berteriak.
“Oiya, kamu kan belum pernah pacaran ya? Wkwkwkwk...”
“Terserah!” Hera menoleh dengan wajah sangat kesal kemudian berlari menjauhiku yang sekaligus membuatku sadar untuk kesekian kalinya telah berbuat kesalahan kepadanya. Hera masih polos, aku memang keterlaluan. Kuputuskan mengejarnya dan ketika jarak kami sudah dekat aku sadar dia menangis, ya Tuhan! Apa yang telah kulakukan ampuni aku.
“Hera tunggu! Maaf.” Aku terpaksa menarik lengan Hera agak keras agar dia berhenti. Dia mengintip sedikit sambil menyeka sisa-sisa air matanya dipipi. Begitulah Hera, hanya dengan kata maaf, itu sudah cukup baginya untuk tidak berusaha lagi meninggalkanku, sungguh gadis yang langka. Padahal yang telah kulakukan sangat keterlaluan.
“Maaf bebs! Jujur, moodku sedang tidak baik. Aku tentu ingin menceritakan penyebabnya kepadamu, kepada siapa lagi. Bagaimanapun kamu sangat penting dihatiku.”
“Tidak apa-apa Jom, mungkin aku yang kelewat senang dan mengharapkan respon yang sama darimu yang sedang gelisah.”
“Yaudah, ayok kita jalan lagi.” Suasana kemudian hening seketika. Aku tidak tau harus berkata apa, takut salah ucap lagi. Hera memiliki hati yang sangat sensitif, aku sudah mengetahui itu sejak lama, tapi keterbatasan dalam kemampuan mengelola emosi masih sering menjadi batu sandungan.
Beberapa menit kemudian suasana sudah agak dingin, kami mulai saling tatap sesekali. Aku tentu mengeluarkan ekspresi menyesal tanpa dibuat-dibuat, alami. Sementara Hera mulai terlihat tenang, dia seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu, pertanda keadaan akan segera kembali normal.
“Tapi...”
“Tapi?”
“Kamu benar Jom, dalam kondisi gelisahpun kamu selalu menyampaikan hal yang baik.”
“Hal baik?”