Supermoon

Adel Romanza
Chapter #22

Murai Batu

Piiciang...piiciang....! Burung murai batu, kalau tidak salah itu namanya. Burung berukuran kecil dengan ekor panjang yang sangat indah. Bulu tubuhnya terpecah antara warna hitam dan kuning emas. Bukankah aku pernah mendengar suara seperti ini di rumah Budi. Sebelumnya juga pernah di hutan bukit kalimuntiang, tapi semua ku dengar di siang hari, tidak menjelang malam seperti ini. Mitos! Akan ada orang yang meninggal, ahhh aku tidak percaya, namun perasaanku semakin tidak karuan, kenapa?

Sesampai aku dirumah aku kaget ada banyak orang. Belum juga masuk ibu menyusul berusaha mencegah dan menyuruhku untuk pergi dulu dan kembali nanti jika sudah benar-benar gelap. Ingin aku menolak tapi tatapan ibu sangat mengisyaratkan harus aku turuti. Aku kemudian memutuskan kembali ke rumah Hera. Dan hal yang hampir sama, belum aku sampai di depan pintu, Hera sudah keluar menyusul.

“Jom, apa benar desas desus itu?”

Aku tidak menjawabnya, tapi Hera mengerti lewat tatapan.

“Ough!” Dia menggigit jarinya seperti berfikir mencari kemungkinan. Hera dengan ekspresi kagetnya namun tetap tak berkurang rasa kepadaku.

“Ternyata ini yang membuatmu gelisah, Apa aku boleh tau kenapa beliau begitu?”

“Kenapa? Sudah tidak penting Hera, yang pasti sudah lama Ayahku memilih untuk menyiksa dirinya dibanding harus melukai orang lain, dia sudah tidak melakukannya lagi, itulah mengapa hidupnya tidak akan lama lagi.”

“Kematian 2 bayi sekaligus pagi ini adalah puncak amarah warga setelah beberapa waktu belakangan semakin meningkat kasus-kasus seperti ini. Sudah dipastikan itu ulah Palasik, dan nama ayahmu disebut-sebut. Mengapa tidak pernah kau ceritakan padaku Jom?”

“Aku tidak tau cara yang tepat memberi tahumu. Percayalah, kalau ayah masih mau melakukan itu dia tidak akan pulang ke sini Hera, bukan ayahku pelakunya.”

“Aku tidak akan ikut menghakimi sesuatu yang belum bisa dibuktikan, tapi warga, sekecil apapun kemungkinannya mereka tidak akan mengambil resiko. Apa ayahmu sedang di rumah?”

“Iya, entah apa yang sedang terjadi di sana sementara aku di sini.”

“Semoga semuanya baik-baik saja. Sebaiknya kita masuk dulu Jom, kamu tentu lapar.”

“Ya, tapi nafsu makanku sudah hilang.”

“Tidak jika dengan masakanku Jom, aku membuat gulai kurabu tadi pagi. Ayolah makan sedikit agar kamu bisa berfikir lebih jernih.”

“Baiklah Hera.” Hera benar, gulai kurabu buatannya sangat enak dan membuat nafsu makanku kembali. Sembari mengunyah kepala ikan kakap dibantu kedua tangannya, Hera masih mencoba mengorek informasi dariku. “Kau tau kalau ilmu seperti itu harus ada pewarisnya Jom?”

“Tau, Ayah ingin mengembalikan kutukan itu ke yang punyanya. Dia bilang akan melakukan apapun untuk itu. Itulah tujuan utama kami pulang Hera.”

“Itu sulit Jom. Belum pernah ada orang yang bisa melakukannya.” Hera memutuskan menarok kepala ikan tadi dipiring dan mencuci tangannya.

“Kamu tau dari mana?”

“Tidak penting. Jika tidak ada pewaris maka roh ayahmu akan terperangkap ditubuhnya selamanya. Hidup didalam kematian, bisa kau bayangkan penderitaan seperti itu? Konon saking tudak sanggupnya mereka memohon kepada Tuhan untuk dikembalikan kedunia dalam bentuk apapun.”

“Terus mereka hidup lagi?”

“Iya, dalam bentuk hewan jadi-jadian. Kera setengah manusia, serigala, beruang, macam-macam.”

“Maidang juga mengatakan hal yang sama, mulanya aku tidak mempercayainya tapi mendengar penjelasan yang sama darimu bagaimana bisa aku menolaknya lagi?” Aku mulai sangat terbuka kepada Hera tentang masalah ini, tentang siapa Maidang? Dan apa hubungannya dengan keluargaku. 

“Jadi kemaren bolos sekolah kamu menemuinya? Mitos memang tidak bisa dipercaya 100% Jom, tapi bagaimana jika mitos itu terlalu dekat dengan kita. Lalu Maidang bilang apa lagi?” Aku kemudian menceritakan semuanya, semua yang kutahu. Dalam sisi lain ada rasa ketakutan yang muncul, apakah setelah ini Hera akan meninggalkanku? Berubah, tidak mau lagi berteman denganku? Tapi respon yang keluar malah jauh diluar dugaanku, dia tidak terlalu terfokus ke inti permasalahan.

“Jadi kau kesana ditemani Sabai?”

“Aku panjang lebar menjelaskannya tapi yang kau tangkap adalah Sabai nya? “

“Jom, sebenarnya Sabai itu perempuan yang seperti apa sih? Kau sangat akrab dengannya tapi tidak pernah menceritakannya kepadaku.”

“Tidak ada bedanya, dia sama saja dengan kita-kita, hanya pilih-pilih dalam bergaul, tidak suka keramaian.”

Lihat selengkapnya