Ritual 40 hari, di sebuah ruangan rahasia di rumah Maidang, ruangan bawah tanah yang dibangunnya sebagai tempat persembunyian. Beliau menyuruhku membongkar sebuah lantai, kudapati sebuah tangga menuju ruangan rahasia tersebut. Sebuah kamar yang cukup besar tapi gelap, tidak ada penerangan sedikitpun, aku menyalakan lampu minyak yang tadi aku bawa, kuletakkan disebuah meja tua disamping dipan darurat. Jelas sekali jejak-jejak Ayah di ruangan ini, bahkan sesekali aku seolah-olah mencium aroma tubuhnya. Aku mengusap-usap setiap jengkal ruangan. Kupejamkan mata, ingin alam bawah sadarku merasakan kehadirannya.
“Ayah, apakah kebaikan itu kita peroleh sendiri dengan belajar atau dia datang dengan sendirinya?”
“Apa itu kebaikan Jom? Dan apa juga itu keburukan? Ayah tidak tahu, sungguh sama sekali tidak tahu.”
“Maksud Ayah?”
“Ada seekor macan yang sedang terluka, menurutmu apa menolongnya adalah sebuah kebaikan?”
“Iya Ayah, tentu.”
“Dan setelah sembuh ia akan membunuh lebih banyak binatang lain, memisahkan induk dengan anaknya, menebar ketakutan tanpa empati sedikitpun. Apa menurutmu menolong macan tadi masih merupakan sebuah kebaikan?”
“Jadi menurut Ayah, kita biarkan saja macan itu mati?”
“Ada kalanya kita membiarkan, karena kebaikan yang kita lakukan belum tentu berakhir baik. Begitu juga keburukan, bisa jadi berakhir baik. Karena dunia ini saling terhubung, kebaikan dan keburukan itu saling tumpang tindih bergantian.”
“Bagaimana caranya agar kita mengerti tentang hubungan-hubungan itu?”
“Dengan kebijaksanaan.”
Lalu kudengar tangga berderik-derik, Maidang menyusulku ke bawah dengan membawa beraneka bunga yang dililit tali pisang, dupa dan banyak lagi, membuatnya kesusahan untuk melangkah. Seketika lamunanku terhenti.
“Uhukk..uhuk...Ritual ini harus segera dimulai sebelum terlambat. Sudah tidak ada lagi waktu, rebahkan tubuhmu!” Maidang kemudian memberi perintah. Tidak ada diskusi, tidak ada penyanggahan, aku hanya menurut tanpa kata-kata. Bunga-bunga itu ia tebar disekujur tubuhku, pun tali pisang tadi berganti melilit tubuhku.
“Jam...ro..ma...da...eee...” Maidang mulai mengucapkan jampi-jampi. ini jugalah yang dilakukan Ayah belasan tahun silam.
Adalah kumayan, berbentuk batu berwarna kuning terang, dimasukkan kedalam sebuah dupa tanah liat, arang yang membara membakar batu kumayan tersebut sehingga mengeluarkan asap sekaligus aroma pekat sebab ruangan ini pengap sehingga asap mengepul tidak keluar.
“Jam...ro..ma...da...eee...” Aku tidak mengerti ucapan jampi-jampi itu. terdengar mistis dan menyeramkan.
Ibu, engkau dimana? Apakah lukamu sudah membaik? Aku tiba-tiba rindu dengan ibu, satu-satunya pemerhati langkah yang kupunya sekarang. Dan aku bersumpah akan menjaganya.
Selama ritual ini aku tidak boleh makan atau minum apapun, badan yang terikat dari tangan hingga kaki semakin menambah penderitaan. Di hari kedua kelaparan yang kurasakan semakin pedih melilit perut, asam lambung yang mulai naik ke kerongkongan, pusing hebat serta detak jantung yang terdengar sangat kencang. Namun tidak ada yang bisa kulakukan selain pasrah. Hingga hari-hari berikutnya, aku berada diantara alam sadar dan halusinasi.
Hari 7
Aku mendengar tetesan air, tik….tik…tik.... Awalnya terhiraukan namun lama-kelamaan mendominasi karena hanya suara tetesan itulah satu-satunya suara yang kudengar. Kemudian aku mulai menghitung-hitung sambil mencoba merasakan jemari, tak terasa sama sekali. Setiap tetesan berjarak tepat sepuluh detik untuk jatuh ke lantai. Konstan sepuluh detik tak pernah kurang ataupun lebih. Tubuh dan pikiran yang tidak utuh menjadikan hal itu sebagai halusinasi gaib. Tetesan darah dari tangan yang terpaku di batangan kayu, kompleks dengan sebuah kepala yang melingkar kawat berduri tajam menembus urat-uratnya. Aku tersentak! Bertenaga seketika, sadar seketika, namun hanya sebentar, hanya energi semu, pandangan kembali kabur, batangan kayu itu kemudian terbalik.
Sekumpulan tangan-tangan menguliti kepala seekor binatang yang sudah terpenggal parang tumpul. Darah segar masih menetes diujung tebasan lehernya, tik..tik...tik... Mengenaskan, matanya masih kuat melotot, entah apa yang ia lihat sebelum ajalnya? Tangan-tangan itu terampil mengeluarkan semua isi kepala si binatang malang, menggantungnya di tiang hitam kemudian menyembahnya, ditemani lidah api yang menyembur. Aku kembali tersentak dan semakin tersentak karena di ruangan ini aku tak lagi sendirian.
“Mereka yang putus asa dan menganggap keinginannya tidak dipenuhi Tuhan, kemudian mencari jalan lain, buehehe.” Sosok yang hanya terlihat remang-remang, sama sekali tidak jelas, seperti menatap dari lensa yang kabur, ditambah keadaan ruangan yang hanya di terangi sebuah lampu minyak seadanya membuat semakin tidak jelas rupa sosok renta itu. Sementara ini hanya renta darinya yang bisa kukenali, tersirat dari langkahnya yang berat dan kesusahan. Ia berjalan-jalan mengitari tubuhku. Dan ketika mendekatkan mukanya ke wajahku iya menyingkap penutup kepalanya sehingga telihat rambutnya yang putih keabuan. Dibawah dagunya yang runcing tumbuh rambut-rambut kasar berwarna emas kusam, panjang namun hanya berjumlah beberapa helai saja. Sebelah matanya rusak, sementara sebelah lain penuh terlihat berwarna hitam tanpa pupil.
“Kau siapa?” Aku memberanikan diri bertanya.
“Buehehe..aku adalah penunjuk jalan yang telah kau pilih.” Belum pernah aku mendengar logat bicara yang seperti ini, sekilas mirip dengan gaya bicara Maidang, logat lama, lama sekali.
“Aku sama sekali tidak memilih.”
“Hihikhikhaha,,, kau melakukan pengingkaran atas apa yang telah kau lakukan, jelas-jelas kau yang memilih sendiri, sudahlah.”
“Terserah kau saja.” Aku mencoba untuk tidak takluk kepada ketakutan yang coba iya bangun.
“Yang terpenting bagi kebanyakan manusia adalah meneruskan hidup, maka apapun yang kalian lakukan semata-mata tertuju untuk menghiasi dan mencukupi hidup. Menumpuk harta, memperbanyak wanita, foya-foya!”
“Aku tidak ada diantara yang kau sebut itu.”
“Tidak ada? Buehehe...” Sosok itu tidak berhenti-hentinya tertawa, pelampiasan atas rasa puas terhadap sebuah penantian panjang. “Lalu jalan seperti apa yang kau tempuh ini? Sudahkah engkau tau, Metasael?”
“Kau bilang ini jalan lain atas keputusasaan, sementara aku tidak pernah meminta keinginan yang tidak mungkin untuk dipenuhi. Jadi jalan apapun itu, akan kulalui.”
“Hahah, sungguh kau tidak menyadarinya metasael?”
“Aku lebih mengenal diriku dari siapapun. Sementara kau siapa?”
“Aku? Mmmm...aku? Buehehe...Selama ini aku selalu disampingmu, lebih tepatnya adalah tugasku berada di sampingmu, dan itu sangat menyenangkan”
“Tugas? Siapa yang memerintahmu?”
“Haa, pertanyaan menarik. Mari kujelaskan. Hidup ini sebenarnya hanyalah tentang pembagian tugas. Kalian sebagai manusia bertugas sebagai pemikir. Sementara aku dan lawanku bertugas mempengaruhi pemikiran kalian agar sesuai dengan arah dan tujuan yang kami inginkan.”
“Kamu dan lawanmu? Siapa lawanmu?”
“Kebaikan, yang selalu berbisik akhirat...akhirat....akhirat.”
“Kau iblis? Inikah rupa aslimu? Jelek sekali. Ini pertama kalinya kita berjumpa, sebelumnya aku tidak pernah melihatmu, aku tidak mengenalmu.”
“Kau tentu merasa terhormat bertemu langsung denganku bukan? Penyebutan hanyalah soal kata Metasael. Dengar, setiap kau marah aku berjalan di aliran darahmu, sehingga amarahmu semakin meledak-ledak. Setiap kau pandangi wanita, aku ada di kedua matamu, membuat yang kau pandang menjadi semakin indah dan membutakan. Kau juga sering memperhatikan derik lentik jari-jari mereka bukan? Aku juga bergelayut disitu. Hah, lucu, kenapa sekarang kau malah pura-pura tidak mengenaliku?”
“Terserah, ada lagikah yang harus kudengar?”
“Di setiap subuh aku selalu meneteskan air kencingku di matamu. Sehingga kau tetap mengantuk.”
“Kau terlalu percaya diri, aku tidak pernah merasakan apa yang kau bicarakan itu.”
“Buehehe, aku memang lebih sering gagal daripada berhasil. Tapi belakangan ada sedikit angin segar?”
“Angin segar?”
“Wanita sempurna! Dua kekuatan dalam satu. Satu yang sangat berharga.”
“Maksudmu Sabai?”
“Aha...kau mulai ingat kepadaku? Sabai sayangku! dua senjata dalam satu diri, kecantikan dan amarah.”
“Tapi kau tetap gagal bukan?”
“Ya, selama ini hatimu terlalu ikhlas. Jujur, aku mulai sedikit putus asa, namun apa yang lebih kuinginkan terjadi lebih cepat di luar dugaanku, kedatanganmu yang tanpa kupinta ini, buehehe.”
“Aku tidak pernah punya keinginan untuk menemuimu.”