Supermoon

Adel Romanza
Chapter #26

Titik Balik

“Hera! Aku hampir membunuhnya, aku hampir membunuhnya.”

“Jom, liat aku.”

“Tidak, ini tidak boleh terjadi lagi, aku harus menyudahinya.”

“Caranya?”

“Memisahkan Jiwa dari raga terkutuk ini, sehingga tidak ada lagi keinginan.”

“Maksudmu mati?”

“Iya, apalagi? Akan kuakhiri saja hidup tak berguna ini!”

“Tenang Jom, tenang...hirup nafas panjang, tenang...”

“Hera, roh tidak menginginkan apapun. Berbeda dengan raga dimana nafsu dan keinginan semuanya ada di situ. Jika aku memisahkan roh dengan ragaku, maka tidak akan ada lagi penderitaan. Dimana letak salahku Hera?”

“Salahmu adalah mendahului kehendak penciptamu.”

“Dari mana kau tau Hera? Atau hanya sok tahu? Bagaimana jika kematianku adalah kehendakNYA? Semakin lama aku hidup maka akan semakin banyak pengingkaran yang kulakukan. Cukupkanlah kesoktauan mu Hera.”

“Kenapa kau marah Jom? Karena kau salah bukan? Kalau kau sedang berniat baik kemudian melakukannya maka hatimu akan baik. Jika ada yang berusaha mengganggumu maka secara alamiah kau akan sabar. Sebaliknya, jika kau berniat melakukan hal yang buruk, belumpun melakukannya lalu ada yang mengganggumu maka kau akan marah. Itu ucapan siapa Jom? Jawab? Kenapa kau diam? Jawab aku!” Hera adalah seorang pengingat yang baik, sedetail itu dia mengingat ucapan apapun yang seharusnya lebih kupahami dari pada dia. Namun ragaku yang panas tak memberi ruang untuk otak berfikir jernih. Adalah keputusan untuk mati tetap kuanggap lebih benar. Untukku, untuk orang-orang yang kusayang, dan untuk orang-orang yang tidak tahu apa-apa yang bisa saja menjadi korban, aku harus mencari jalan kematian yang paling baik.

“Hera, kata-kata bijak yang dulu kuucapkan, semuanya sekarang berbalik kepadaku. Kebaikan dan keburukan hanyalah persoalan perspekstif. Tergantung dari sisi mana kau melihatnya.” Aku menegaskan keinginanku dengan kata-kata pembelaan yang membuat Hera terdiam, lebih kepada putus asa membujukku.

“Terserah kamu Jom.” Hera melipat kedua lututnya mendekati dada, menenggelamkan wajahnya diantara 2 kaki. Aku mencondongkan badan sedikit untuk mengucapkan kata pamit. Kutinggalkan ia begitu saja.

Adalah menuju pusara Ayah, disanapun ku bilang aku akan menyusulnya. Apakah dia setuju? Tentu saja tidak. Pertama, ayah benci dengan orang-orang yang putus asa. Kedua, ibuku, dia tentu tidak ingin ibuku sendirian, siapa lagi yang akan menjaganya nanti. Ahhh...baru berpindah tempat sebentar keyakinanku sudah buyar lagi. Tapi aku sedang tidak putus asa, aku sedang menginginkan jalan keluar. Kupandangi lagi pusara ayah dari ujung keujung, kupejamkan mata, kutarik nafas sepanjang yang kubisa, kuhembuskan lalu kuulangi hingga berkali-kali.

Lihat selengkapnya