Supermoon

Adel Romanza
Chapter #27

Akhir

Dear Hera,

Sekarang bulan Desember, hujan sepanjang hari, dingin walau terkadang tak bisa kurasakan. Pun juga dengan segala nasehatmu, tak bisa kuturuti. Maafkan aku.

Bagaimanapun beberapa malam lalu adalah percakapan terakhir kita dan ini adalah surat terakhirku untukmu. Ku tulis karena betapa berterima kasihnya aku atas kepedulianmu selama ini.

Hera, jangan biarkan mereka mengira aku melakukan ini karena putus cinta, itu sangat memalukan. Kau boleh ungkap alasan sebenarnya karena itu lebih baik.

Kau tau aku sudah memikirkan ini lama sekali dan setelah perdebatan panjang kita, mati bagiku adalah pilihan yang paling realistis, kamu jangan coba mengelak lagi, kau sebenarnya juga setuju bukan? Dan jangan pula sekali-kali kau kira aku adalah seorang pengecut, bunuh diri butuh keberanian yang sangat hebat Hera, seorang pengecut tidak akan mampu melakukannya, dan satu lagi seorang pengecut tak kan siap menghadapi apapun setelah kematian, ini sebuah perjudian memang, tidak ada yang tau hidup setelah mati apakah lebih baik atau buruk, tapi aku harus mencobanya karna duniaku tak lagi sama.

Aku akan merindukan percakapan kita,

Sampai ketemu di dunia selanjutnya, temui aku di Jabal Uhud.


Salam,

Jom


Huh...Sudah kulakukan semuanya, termasuk meninggalkan surat terakhir untuk Hera. Sekarang tinggal bagian akhir yang paling penting, menenggak racun yang sudah kuracik sendiri dari daun yang sangat mirip Peterseli, Oenanthotoxin, racun yang akan langsung menuju ke pusat saraf. Dan setelah itu, semuanya akan berakhir menuju awal yang baru.

Aku kemudian membaringkan tubuhku di atas dipan, memandang kelangit-langit kamar, memejamkan sebentar mataku yang sangat lelah, kutarik nafas panjang lalu kuraih racun itu, kemudian kutenggak sampai habis. Glek! Kurasakan cairan kental itu mengalir dari ujung lidah hingga kepangkal, rasanya pahit sekali tapi lebih pahit apa yang kualami selama ini.

Perlahan kesadaranku mulai hilang, tubuhku terasa sangat ringan seakan terangkat keatas, tak lagi kurasakan alas dibawah kulitku. Tapi kemudian berkumpul rasa sakit ke bagian kepala, sakit sekali namun aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Semakin sakit dan setelah itu aku tidak ingat apa-apa. Semua gelap, hitam. Jiwaku telah terbang menuju pengharapan yang kugantung sendiri.

Lalu, samar-samar kurasakan sentuhan ayah menjelma ditubuhku. Serasa rasa rinduku kepada ayah yang selama ini kupendam memuncak seketika.

“Ayah, aku takut gempa lagi.”

“Rumah kita rumah kayu Jom, aman kalau ada gempa, kamu jangan takut lagi ya. Ayah tidak akan meninggalkanmu. Coba liat gunung itu, namanya gunung Merapi, dulu sewaktu masih muda ayah sering mendaki ke gunung itu. Nanti kalau kamu sudah besar, ayah akan ajak kamu kesana.”

“Mau ayah...aku mau....”

“Kalau gempanya seperti tadi, bergetar cepat itu namanya gempa vulkanik, berasal dari gunung berapi itu, nah adalagi gempa tektonik, itu dari lempeng bumi, gempanya pelan berasa diayun-ayun.”

“Oooo...Aku mengerti Ayah.” Ayah mengayun-ayunkan punggung tangannya sembari memeluk tubuhku sebagai perumpamaan, dan entah mengapa ayunan itu perlahan-lahan mulai pindah ketubuhku. Awalnya pelan lama-lama jadi terasa semakin kencang seiring dengan suara ayah yang semakin menghilang. Gempa!! Kemudian telingaku tuli dan berdenging, guncangan gempa itu membuatnya berdenging semakin hebat.

“Jom...Jom...bangun...!” Masih berdenging tapi sekarang bercampur dengan suara seseorang yang memanggil-manggil namaku.

“Bodoh...dasar si bodoh.. bangun Jom! Bangun! Kamu pikir racun kecil ini akan membunuhmu, bangun bodoh!” Perempuan itu memukul-mukul kepalaku membuatku terbangun dengan perasaan tersiksa.

“Hera, apa-apan, kamu juga ikut mati bersamaku?”

“Gila! Kamu masih di bumi Jom, akhirat masih jauh!”

“Kamu mengganggu saja Hera...barusan ayahku disini.”

“Diam! Sekarang bangun, penduduk kampung sedang menuju hutan bukit kalimuntiang, mereka menemukan Sabai, benar adanya dia disandera Tuan Mantiko dan anak buahnya! Jika kamu memang mencintainya, bangun dan selamatkan dia.” Aku masih berusaha mengumpulkan kesadaranku dengan mengusap-usap wajahku.

“Bangun! Jika pergi sekarang kamu akan duluan sampai dari mereka. Kau tau prioritas warga adalah menghabisi tuan Mantiko! tak peduli jika Sabai ikut terbunuh.” Hera kemudian mengguyurku dengan sebaskom air.

“Bangun Jom!”

“Baiklah Hera, jika itu maumu, akan kubuat perhitungan dengan mereka.”

Obor-obor terlihat seperti ular yang berjalan, berkelok-kelok dijalan setapak menuju hutan bukit Kalimuntiang. Aku sekejab bisa mendahului mereka. Tuan Mantiko dan para anak buahnya adalah hama yang yang harus dibasmi. Sabai, tunggu aku, akan kubawa kau pulang.

Tuan Mantiko beserta anak buahnya membawa Sabai ke sekitaran tanah gambut di bukit Kalimuntiang lokasi yang hampir tidak pernah dilalui manusia. Mereka mendirikan semacam gubuk dengan minim alat penerangan. Ritual macam apa ini, sementara Sabai terikat dihalaman luar kesebuah tiang yang ditancapkan ke tanah, berlumuran darah. Apa yang telah dijanjikan lelaki laknat itu sehingga Sabai rela melakukan ini.

Tanpa ba..bi..bu aku langsung menyerang mereka. Tuan Mantiko dan anak buahnya mempunyai kemampuan ilmu beladiri yang tinggi. 1 lawan 7, aku dengan hanya tangan kosong dan mereka dengan parang-parang tajam. Walaupun terluka cukup parah tapi mereka semua berhasil kulumpuhkan. Aku tidak membunuh mereka, hanya membuatnya pingsan. Aku kemudian mendekati Sabai, dia masih sadar.

“Ini seperti ramalanku waktu itu kan Jom.”

“Bukan ramalan Sabai, tapi keinginanmu.”

“Tapi kamu benar-benar datang menyelamatkanku.”

“Sabai, aku tidak berharap sama sekali kamu akan mengalami hal ini, seharusnya kamu mendengarkanku.”

“Aku selalu mendengarkanmu Jom.”

“Sudahlah, yang kau dengar itu hanya egomu, egomu!” Sebentar lagi penduduk kampung akan sampai disini, kamu lebih aman bersama mereka, sampai bertemu lagi Sabai.”

“Tunggu Jom, bawa aku bersamamu!” Aku meninggalkan Sabai di tempat itu, biarlah penduduk desa yang membawanya pulang, itu lebih aman untuknya.

Lihat selengkapnya