“Tak terasa ya kita sudah mau kelas 3,” ujar Juliet.
“Yoi,” sambung Tantri.
“Eh eh! Kenapa kita gak main dulu kemana kek sebelum kenaikan kelas? Toh ada waktu libur 2 minggu kan?” usulku ke kelas.
“Wah boleh tuh Res, apalagi kalau abis ujian gitu kan enaknya refreshing. Gimana teman-teman?” tanya Ria.
Setelah semua yang terjadi, pada akhirnya aku, Ria dan Fia berteman lagi. Sebagai teman satu kelas memang tidak boleh saling membenci kan? Dan untungnya aku juga tidak mendendam.
“Setuju!” ujar anak-anak kelas.
Pada jam istirahat pertama, aku sudah janjian dengan Irsan di kantin. Untuk mempererat hubungan kami, jadi kedepannya sebisa mungkin kami akan lebih menyempatkan waktu untuk bertemu.
“Tadi gimana pelajarannya?” tanya Irsan membuka percakapan.
“Lumayan gampang kok, kan udah hampir selesai materinya. Cuma entah kenapa akhir-akhir ini para guru itu jadi lebih galak wkwk,” ungkapku.
“Makanya kamu harus mulai rajin-rajinin belajarnya! Atau kalau mau mending sama aku, kita belajar bareng daripada kamu main terus sama geng kamu yang gak jelas itu.” Setelah Irsan mengucapkannya, entah kenapa aku jadi merasakan aura jahat dari Tantri yang sedang duduk tak jauh dengan tempat duduk kami berserta yang lain.
“Haha, tapi kan kalau belajar terus nanti malah pusing ehehe.” Aku mencoba mencari alasan.
“Hahh, karena itulah kelas kamu isinya cuma anak-anak dari peringkat terakhir saja,” Irsan berkata dengan nada rendah.
“Ahaha berhentilah mengutuk kelasku sayang!,” ucapku kesal.
“Loh! Jadi sekarang manggilnya sayang-sayangan gitu,” sindir Irsan.
“Mmm ...” Ah aku keceplosan memanggilnya sayang, aduh malu sekali rasanya. Ucapku dalam hati.
“Nanti sepulang sekolah ikutlah denganku, kita akan ke suatu tempat dulu.” Tak seperti biasanya, Irsan mengajakku pergi tanpa mengatakan tempatnya.
“Oke,” jawabku.
Beberapa waktu kemudian, saat aku sedang menunggu Irsan di gerbang sekolah.
Nampak dari jauh seseorang berlari ke arahku. “Maaf aku terlambat Restin,” ucap Irsan dengan napas yang terengah-engah.
“Gak papa kok, aku juga baru datang barusan.” Ku tersenyum.
“Ayo kita pergi!” Irsan menggenggam tanganku dan menarikku pergi.
Kami pergi dengan menaikki bus, ini kali pertamanya aku dengan Irsan naik bus bersama. Biasanya kalau tidak naik mobil dengan sopir pribadinya, kami jalan kaki karena tempat kami ketemuan juga pasti tidak akan jauh dari sekolah.
“Kita mau kemana?” tanyaku.
“Tunggu saja,” jawabnya yang lalu tiba-tiba dia menyandarkan kepalanya ke pundakku.
Kami duduk di kursi paling belakang, kebetulan saat itu sedang tidak ada penumpang lain yang duduk di sana. Perlakuan Irsan menyandarkan kepalanya di pundakku, membuat jantung ini tak henti berdetak kencang di sepanjang perjalanannya. Aku penasaran kenapa dia tiba-tiba bersikap manja seperti ini, padahal sebelumnya dia selalu bersikap formal padaku. Saat ku periksa dia, ternyata Irsan tengah tertidur sepertinya, pikirku.
Wajahnya yang begitu tampan, hampir semua bagian di sana seperti dan hidung, terletak dengan sangat strategis. Aku bukannya melebihkan, tetapi memang banyak orang yang sama-sama mengakui ketampanannya. Meski begitu, jujur aku baru pertama kali melihat wajahnya secara langsung. Ini sungguh indah Tuhan, dalam hatiku bicara.
Pundakku terasa hangat, pandanganku tak bisa fokus, dan setiap gerakan yang aku buat selalu berujung salting (salah tingkah). Aku takut membangunkannya, tapi mungkinkah meski dadaku terus bergetar dan tubuhku yang tak bisa diam sedari tadi tidak dia sadari?
Aku bingung harus melakukan apa saat itu. Jika aku memandanginya, semakin lama kupandangi semakin aku terlena dan tanpa sadar wajahku mendekat pula dengan wajahnya. Jadi aku pun berhenti memandanginya untuk sesaat.
Bus tak kunjung berhenti, setelah memberhentikan penumpang pertama di beberapa menit yang lalu. Aku pun ingin membangunkan Irsan karena takut bahwa sebenarnya kami telah kebablasan. Namun setelah kulihat dia lagi, hatiku tak tega melakukannya.
Lalu tak lama bus pun berhenti,
“Nona, ini adalah pemberhentian terakhir bus. Silahkan kalian bisa turun,” ucap sopir bus tersebut.
“Baik pak sebentar,” jawabku.
Aku pun membangunkan Irsan, “San! San bangun, katanya kita sudah di pemberhentian terakhir.” Elus-elusku rambut di kepalanya.
“Oh kita sudah sampai,” kata dia yang baru saja bangun.
Kami pun turun, dan Irsan menuntunku ke suatu tempat. Sementara di perjalanan aku semakin penasaran kemana kami akan menuju?
“Sebenarnya kita akan kemana? Memangnya kita benar turun di sini san? Barangkali kamu masih ngelantur abis bangun tadi,” kataku.
“Tidak, aku memang sudah menuruh bus ini untuk mengantarkan kita kemari,” tegasnya.